Langsung ke konten utama

Teror dalam Tarian Bumi Untuk Bali

Beberapa hal pokok yang masih berhubungan dengan kerangka analisis social dan budaya dengan dikaitkan perubahan yang dimiliki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, menarik untuk dibaca. Perubahan yang dimaksud di sini adalah pola pikir tokoh atau individu yang secara teranng-terangang memberontak pada kebudayaan Bali juga feminisme. Bukan perubahan-perubahan besar, seperti revolusi, perang, maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya.
Tarian Bumi adalah Sebuah novel eksotis khas etnik Bali yang penuh dengan suasana dan atmosfer “pemberontakan”, sekaligus situasi ambivalen kaum perempuan dalam menghadapi realitas sosialnya. Tata sosial yang hierarkis lewat pembagian kasta, patriarkhal di mana kaum laki-laki lebih banyak mendapatkan previlese social, merupakan problem-problem fundamental yang dihadapi kaum perempuan di Bali, jika ingin menemukan hubungan yang relatif lebih equal dan lebih emansipatoris.
Meski secara terang-terangan terjadi pemberontkan di sana-sini, sebagai novel perempuan yang ditulis perempuan, Tarian Bumi masih memiliki etika-etika kebudayaan bali yang sampai sekarang masih dilestarikan keberadaannya. Oka Rusmini sendiri adalah seorang yang dalam masyarakat Bali memiliki tingkat sosial yang paling tinggi, yaitu Brahmana. Ia mencoba mencari eksistensi seorang penari dari kaum Sudra—yang bosa menjadi miskin—untuk bisa menjadi kaum Brahmana. Untuk mewujudkan itu, Luh Sekar harus berjuang keras. Ia tidak peduli anggapan masyarakat, bahwa orang Sudra tidak bisa menjadi penari. Luh Sekar terus berjuang sampai ia bisa menjadi pragina di atas pragina.

Aku capek jadi perempuan miskin, luh. Tidak ada orang yang bisa menghargaiku. Ayahku terlibat kegiatan politik, sampai sekarang tak jelas hidup atau matikah dia. Orang-orang mengucilkan aku, aku anak penghianat. Anak PKI! Yang berbuat ayahku, yang menanggung beban aku dan keluargaku. Kadang-kadang aku sering berfikir, kalau kutemukan laki-laki itu aku akan membunuhnya!
Sekar! Suara kenten terdengar keras. Mata perempuan muda itu mendelik.
Aku capek miskin, Kenten. Kau harus tau itu. Tolonglah, carikan aku seorang Ida Bagus. Apa pun syarat yang harus kubayar, aku siap! (TB:27)

Akhirnya ambisi dan impiannya itu terwujud juga. Berkat kerja keras dan kepandaiannya dalam menari, Luh Sekar dipersunting oleh Ida Bagus Ngurah Pidada. Sampai di sini nama Luh Sekar telah berubah menjadi Jero Kenanga. Namam Jero adalah nama yang diberikan kepada wanita Sudra yang dinikahi oleh kaum Brahmana.
Luh Sekar siap membayar apa saja sebagai syarat untuk merubah namanya menjadi Jero Kenanga. Ternyata tak pernah terbayang olehnya bahwa ia harus membayarnya sangat mahal. Dalam hubungannya dengan keluarga mertuanya ia tak pernah sekali pun merasa bahagia. Hidup selalu di bawah orang lain, tertindas. Tak ada yang bisa membelanya. Belum cukup hanya dengan itu, anaknya pun, Telaga, harus menanggung juga apa yang telah ia perbuat. Pergolakan batin mereka tak pernah selesai dalam satu masalah. Pada akhir cerita, Segala kemewahan, kemudahan yang didapat selama tinggal di griya dan juga gelar kebangsawanan ditanggalkan oleh Telaga Pidada demi Wayan Sasmitha. Telaga Pidada tinggal bersama Wayan, Luh Gumbreg dan Luh Sadri, adik dari Wayan dengan kehidupan khas keluarga sudra yang serba kesusahan namun Telaga Pidada bahagia dengan pilihannya tersebut.
Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang Sudra, yang disunting oleh lelaki Brahmana. Dengan cara penceritaan kilas balik, Oka Rusmini mengungkapkan pergolakan batin Telaga yang kecewa dengan orang- orang yang "menjadi peta dalam proses kelengkapan pembentukan Telaga sebagai perempuan". Yang terpenting tentu saja Luh Sekar, ibunya sendiri. Pada bagian inilah, muncul tokoh Luh Kenten yang menarik, sahabat terdekat Luh Sekar. Pengarang melukiskan sosok Kenten seperti ini: Semua orang di desa ini tahu, Luh Kenten perempuan keras kepala. Perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Tubuhnya sangat kuat dan tegap. Dia memiliki kecantikan yang khas. Keakraban Kenten dengan Sekar mengundang isu-isu yang terus berkembang di luar rumah.
Isu yang tidak baik itu tergambar dalam sebuah bisik-bisik di warung yang sempat didengar sendiri oleh Kenten. Mereka menjalin cinta. Mengerikan. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia? Apa mereka melakukan persentuhan itu seperti aku melakukamnya dengan laki-lakiku? Atas gunjingan tersebut,

Luh Kenten hanya bisa menarik napas dan bertanya pada dirinya sendiri. Dosakah dia kalau hanya bisa mencintai dan hanya tersentuh bila memandang tubuh perempuan? (TB:37)

Apakah Kenten seorang lesbian? Tak sekalipun istilah itu disebut dalam novel ini. Tapi, jika merujuk pada pengertian lesbianisme yang diberikan oleh kritikus sastra feminis-lesbian, Lillian Faderman, maka bisa disimpulkan bahwa Kenten memang perempuan lesbian. Menurut Lillian, seperti dikutip Soenarjati Djajanegara dalam buku Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (2000), kata lesbian menggambarkan suatu hubungan di mana perasaan paling mendalam serta kasih sayang terjalin di antara dua perempuan. Hubungan seksual sedikit atau banyak mungkin terjadi di antara mereka atau mungkin sama sekali tidak terjadi. Kedua perempuan itu lebih suka menjalani hidup bersama dan berbagi pengalaman yang sama.
Luh Kenten boleh dibilang merupakan wacana yang relatif baru untuk penokohan perempuan dalam novel Indonesia. Sama-sama perempuan Bali, ia berbeda misalnya dengan tokoh Ni Negari dan Ni Luh Sukreni dalam novel yang telah menjadi salah satu kanon sastra Indonesia, Sukreni Gadis Bali (terbit pertama kali tahun 1936) karya AA Panji Tisna yang serba lemah dan tak berdaya dalam hubungannya dengan keluarga dan laki-laki. Sebaliknya, akibat kecewa dengan ayahnya yang dianggapnya tak bertanggung jawab karena meninggalkan keluarga begitu saja, dengan lantang Luh Kenten berseru kepada ibunya,

"Aku tidak akan kawin, Meme. Aku tidak ingin mereka bohongi. Aku benci seluruh laki-laki yang membicarakan perempuan yang tidak terhormat."(TB:41).

Dalam literatur feminisme, lesbianisme merupakan salah satu pilar gerakan pembebasan perempuan, seperti diyakini kaum yang menganut aliran feminisme-lesbian. Dalam masyarakat yang didefinisikan oleh laki-laki, lesbian merupakan suatu bentuk pemberontakan karena ia mendefinisikan dirinya dengan bahasanya sendiri dan menolak definisi-definisi yang diciptakan laki-laki tentang bagaimana perempuan harus berhasrat, bersikap, serta memandang dan menjalani hidup.

Perempuan Bali itu, Luh, Perempuan yang tidak biasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (TB: 31).

Dalam budaya yang menomorduakan dan memandang rendah perempuan, menjadi lesbian berarti mencintai dirinya sendiri dan sesama jenis kelaminnya serta menolak dominasi laki-laki, baik dalam seksual maupun politik. Apakah Luh Kenten seorang feminis-lesbian? Lagi- lagi tak ada keterangan yang eksplisit. Namun, justru dengan menampilkannya sebagai sosok yang penuh kemarahan dan begitu memberontak terhadap laki-laki, bahkan mengikrarkan diri akan hidup tanpa laki-laki, bisa disimpulkan bahwa lesbianisme Luh Kenten, lebih dari sekadar preferensi seksual, merupakan sebuah pilihan politik.
Dari pemaparan di atas, yang sebenarnya membuat novel ini sangat menarik dan controversial adalah bukan pesan atau kritik social yang disampaikan, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua unsure intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun karya fiksi saja, yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya yang baik, walau hal itu mungkin sekali sebagai salah satu pendorong ditulisnya sebuah karya. Selain itu, pesan moral pun khusunya yang berupa kritik social, dapat mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2002: 330). Seperti juga terlihat dalam novel ini. Apa yang diungkap tidaklah menarik ketika pembangunan plot, pengembangan cerita, penokohan tidak kuat.
Sampai pada pembahasan ini, barangkali bisa kita lihat kebudayaan Bali beserta adat-istiadatnya yang dalam sejarahnya sangat dijunjung tinggi, tiba-tiba saja didobrak oleh novel ini. Hal ini menjadi semacam teror baru bagi kebudayaan Bali yang kian luntur menghadapi perkembangan. Kebudayaan Bali telah mengalami modifikasi cultural (Kaplan, 2000: 106). Hal ini terjadi karena lingkungan yang mendukung. Pertama, Bali adalah tempat strategis untuk memasukkan idiologi-idiologi barat dengan segala perangkatnya. Kedua, banyak orang asing yang menetap di sana yang turut mempengaruhi perkembangan. Ketiga, pada sejarahnya, Bali merupakan tempat kapal-kapal berlabuh dan berdagang.

Kesimpulan
Pada simpul ini, hal pertama yang dapat terbaca adalah soal mengapa sastra sebagai salah satu karya seni tetap dibutuhkan, apalagi di masa pembangunan sekarang ini. Sebabnya jelas: sastra itu “karya Simbolis”, sedangkan itu “karya nyata”. Sastra lebih membantu seseorang dalam sisi spiritual, sedangkan teknologi sisi materinya. Sastra juga merupakan sarana pencerahan bagi individu untuk menuju sikap arif atas penyikapan masalah dalam hidup, begitu kata Iman Budhi Santoso.






Daftar Pustaka


Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: Indonesiatera. Cetakan keempat.
Kaplan, David. 2000. Teori Budaya. Terjemahan Landung Simatupang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Cetakan kedua.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Press. Cetakan keempat.
Tisna, AA Panji. 1936. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber