Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2010
Perjamuan yang Lindap tempelkan lagi pumflet-pumflet kosong di atas bambu renta, mimpi yang menyangsang pada kail kosong di pintu laut bergeming ribuan ikan kelaparan ''hari ini tak ada nelayan berkapal'' suatu hari nanti kucium dadamu dan kuselipkan mawar yang diwariskan dewa-dewa, lalu segera kemasi deru mesin kapal dan riuh ombak agar kita bebas berlayar menempuh jalan camar jalan bergurat rapi di tepi tebing sorga tangis itu, kini, di dasar laut. aku membawanya dari cerita yang dipanggul waktu dari suratan pemakaman tanda yang tertulis pada alamat cinta telah sampai kisah cerita telah membahasakan dirinya sendiri : di suatu pagi yang tak kukenal mataharinya di suatu pagi yang menerbitkan tangis itu lagi. kita ini binatang laut, katamu. aku menerjemahkannya jadi kerlip kunang-kunang yang berebutan menyala di padang pasir, lalu kau pergi tanpa membawa nafasmu, kusimpan di dada kiriku agar a menjadi setia, menunggu angin : pemukiman kepak sayap dan jerit malaikat. aku
Tentang Cinta yang Luput Hujan turun sendirian Selaput cinta yang kusut diguguri kamboja Menyembunyikan puisi dari kisah bunga bungah Sekali musim kita tak sama menamainya Angka-angka kalender jatuh begitu saja Menjadi daftar merah Tanpa kita sempat memaknainya sebagai hari Dan bau tanah yang menyumbat hidung Adalah kenangan yang terkubur. Djogjakarta, 2008. Aku Mencintaimu dengan Segenap Bahasa Aku mencintaimu dengan segenap bahasa Kata-kata menerjemahkan segala gerak. Aku beri setangkar mimpi, juga rindu Merekahlah jemari dan lengkap sudah prosa ini, Yang di dalamnya aku lelap, Mendengkur. Cintaku penuh kutipan-kutipan romeo-juliet Tanpa bunga dan kematian, Kupersembahkan kalimat-kalimat sighot taklik Rumit. Memang rumit cinta kita. Djogjakarta, 2008. puisi-puisi di atas tekah dimuat di harian Merapi Yogyakarta, 18 Januari 2009
Catatan Pendek Tentang Luka Karena aku tak mengenal musim Kubiarkan hujan memilikimu Sebab dalam diriku Gelombang tebal menangisi Irama matahari dalam kabut Biarlah hanya percakapan kita tersisa Abu dari kertas cinta Yang pelan-pelan menidurkan lagu-lagu Menjadi angin di hutanmu yang sepi tiba-tiba Lalu luka itu terbit Tak putus-putus Djogjakarta, 2008. Aku Mengingatmu Sebagai Prasasti Aku mengingatmu sebagai prasasti Jika nanti kau lupa tentang dawai Yang ragu-ragu berderit kau gesek di belakang rumah Saat purnama telah pulang Dan aku sibuk mengajarimu Mengeja kalimat-kalimat yang semakin tua Pada daftar alamat yang kita lupa mengiriminya doa Aku mengingatmu sebagai prasasti Hari lahirmu yang merekah pada sebuah batu Isyarat yang kubiarkan mengeras Namun pada lekuknya Suatu hari akan kau pahami Sebagai gerimisku atasmu yang tak pernah reda. Djogjakarta, 2008. Kembang Kamboja; Sebuah Kado Pernikahan Kita
Obituari Senja Tak ada sumur di ladang Kemarau memanjang Langsat kulitmu merayuku Lalu kutuang puisi ke dalam dadamu Sebab tak ada lagu yang kau putar di sana Maka kulepas engkau di bibir pantai Agar bayangmu tak jadi janji Bagi senja yang menunggu Sekitar Gaza bersembunyilah dalam dadaku agar langit tak berwarna ungu dan puing-puing tak melulu kabar buruk kemarilah, kudongengkan cerita pengantar tidur sebab hanya mimpi yang tak pernah diusik peluru. mari menari irama padang pasir kesedihan mesti berakhir tidurlah, akan kubangunkan engkau di siang hari setelah kering darah dan tangis oleh matahari dan sebentar lagi hujan membawanya menuju langit agar tercium malaikat sebagai bau tanah yang abadi djogjakarta, 2009. puisi-puisi di atas telah dimuat di harian Merapi Yogyakarta, 11 Juli 2010
Luka Duka — episode kunang-kunang jika kau telah lupa meletakkan abad yang tercipta dari jejakmu aku buatkan seribu kunang-kunang dari dongeng ibu: seekor ular melilit tubuhnya sendiri. hujan telah menepi saat kau sampai namun, tak kuijinkan lagi kakimu di sini seumpama saja kau tak mengirim sunyi di kamarku lewat kabel-kabel telepon yang kau sambung dari kiamat aku akan lebih senang mamanggul rumah dipunggungku : beban abadmu. tetapi kau lupa, abad kunang-kunang ini terlewati begitu saja. sampai batas inikah sumpahku ludahmu lancar meniup apiku dalam remang bulan di reranting yang kutemukan mati di gang sepi waktu malam tak bermimpi. Djogjakarta, 2007. Luka Duka — episode lahar kau turunkan lahar dari kepalamu menjejak di antara rumah-rumah beratap isak inilah ribuan cerita yang menjejal; tak ada suami, istri, juga anak-anak yang aku rindukan dari pulau tak pernah bergeming lalu antara

pementasan dan diskusi publik Musik Puisi

Kelompok Musik Puisi Assarkem merupakan satu devisi dalam tubuh Sanggar Kreativitas Manusia (SARKEM) Yogyakarta, yang konsisten dalam menggarap musik puisi atau musikalisasi puisi, meski mengalami pasang surut dan bongkar pasang personil. Dalam kiprahnya, KM Assarkem tidak hanya menampilkan bentuk karya "jadi", melainkan juga memberikan masukan bagi perkembangan wacana musik puisi yang masih simpang siur hingga saat ini, bahkan ketika musik puisi masuk dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama. Dalam pementasan dan diskusi kali ini, KM Assarkem bekerjasama dengan Bentara Budaya Yogyakarta, akan menghadirkan pembahas Dr. St. Sunardi selaku pengamat budaya. acara ini bersifat terbuka bagi umum dan tidak dipungut biaya apapun.