Sepanjang hidup, aku melihat manusia memanjakan gengsi, bahkan membelinya. Anehnya lagi, bisa diangsur! Atau dalam bahasa orang-orang kecil, bisa diutang. Seorang teman misalnya, ia bekerja di sebuah biro perjalanan yang menuntutnya harus berpakaian seelegan mungkin supaya terlihat mempunyai kehormatan yang tinggi dan pengaruh yang besar. Tak ayal, ia pun membeli jas-jas buatan desainer dunia yang namanya kondang setinggi langit. Bukan karena ukurannya yang mungil, bahkan juga karena potongan yang lebih ramping. Label yang dijahit di jas itu membuatnya turut melambung bersama, dan secara tak langsung, ia diasosiasikan dengan sesuatu yang mahal, sophisticated, kadang meski understated tetap menggaungkan sebuah bayang-bayang kelas tertentu dan tidak murahan. Apalagi kalau ditanya, jas anda keren, beli di mana? Di belakang ceritanya, ia mengaku kalau harus melunasi cicilannya tiap bulan dengan sekian dolar.
Di lain kesempatan, ia bercerita memiliki pelanggan wanita yang kalau membeli tiket pesawat selalu memerintahkan untuk menuliskan nama dan gelarnya selengkap mungkin. Prof. Dr. Bla Bla Bla.
Aku senang mendengar dan membicarakan hal-hal seperti ini. Hingga aku punya cukup banyak stok cerita-cerita kaum Bento. Bukan ceritanya, sebenarnya. Kalau aku pikir dan perhatikan, yang lebih menarik adalah penceritanya. Dengan karakter yang kuat, mimik yang meyakinkan, kata-kata itu keluar dari mulut menjadi kalimat dan sesampainya di telingaku telah menjadi sebuah cerita.
Kadang aku merasa kasihan pada si pencerita yang kadangkala ceritanya tidak didengarkan dan dianggap sebagai lelucon yang membual. Tapi aku selalu berkata dalam hati untuk menghibur diriku yang menahan rasa iba; teruskan saja ceritamu, aku mendengarkannya.
Semakin banyak orang-orang yang membicarakan tentang sesuatu yang mereka anggap kehormatan dan berpengaruh, aku semakin menaruh kecurigaan. Jangan-jangan mereka dibayar untuk membicarakan itu. Masalahnya, dari mereka yang memperbincangkannya, tak ada satu pun yang membicarakan dirinya sendiri. Misalnya dipertemuan santai antara Pak Amin, Pak Sugeng, Pak Yanto, dan Saya, kami memperguncingkan kehormatan dan pengaruh Pak Tomi di komunitas atau di perusahaan tertentu. Di lain kesempatan, Pak Amin, Pak Yanto, Pak Tomi, dan Saya, kami memperguncingkan kehormatan dan pengaruh Pak Sugeng di komunitas atau di perusahaan tertentu.
Kecurigaanku semakin menemui berbagai pertanyaan, apa mereka saling membayar? Buktinya, aku tak pernah diperbincangkan dalam obrolan mereka kalau aku tidak bisa menghadiri pertemuan santai yang kami jadwalkan sekali setiap minggunya. Jadi kesimpulannya, pembicaran ini memang sudah diskenario dan mereka saling membayar. Tapi yang paling menyebalkan dalam pertemuan sekali setiap minggu itu, aku selalu menjadi audien aktif. Meski begitu, obrolan mereka sangat berguna bagiku untuk kuceritakan pada istriku menjelang tidur dan memenuhi nafkah batinnya.
***
Tak ada yang aneh dalam setiap obrolanku dengan teman sejawat. Justru aneh jika menemui orang yang tidak seperti teman-teman sejawatku. Dan aku menganggap orang ini aneh karena ia tidak masuk kategori teman-temanku.
Di kampung halamanku, ketika bersama keluarga menikmati liburan anak-anak, aku mendengar dari Ibuku kalau malam nanti akan ada pengajian di masjid dan aku disuruhnya untuk menghadiri pengajian itu bersama Bapak. Malas sekali rasanya, tapi dari kecil aku tidak pernah melawan perintah ibuku. Aku turut saja.
Malam itu aku berjalan beriringan bersama Bapakku. Kami tidak banyak ngobrol, hanya sekedar menjawab pertanyaan kemudian diam. Pertanyaanku kepada Bapak hanya sekitar perkembangan desa dan beberapa saudara yang masih aku kenal. Pertanyaan Bapak padaku hanya persoalan pekerjaan, keluarga dan lingkungan hidup.
Aku dan Bapakku memang jarang membicarakan sesuatu dengan santai, selalu saja serius. Seperti ada jarak di antara kami. Itu sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak aku merantau, dikirimnya ke kota untuk belajar.
Lima belas langkah lagi kami akan sampai di masjid dan obrolan sudah terhenti, hanya empat pertanyaan keluar dari mulutku dan lima dari Bapak. Waktu kecil, aku suka sekali menghitung langkah ketika menuju masjid untuk jum’atan atau sholat ied. Masalahnya, orang-orang di desaku, ketika berduyun-duyun menuju masjid mulut mereka selalu komat-kamit menyebut nama Tuhan, kata Mbah itu namanya Wiridan. Jadi, supaya seperti mereka yang mulutnya komat-kamit, aku kecil yang tidak tahu apa-apa waktu itu, mengganti Wiridan dengan hitungan langkah kaki hingga sampai sekarang aku masih memiliki ingatan itu. Tentu saja ingatan itu adalah ingatan masa kecil dan jika dibandingkan dengan sekarang hitungan itu akan mengecil.
Sesampainya di masjid, aku dan Bapak mendapat jatah kursi paling depan, sebenarnya aku ingin duduk dibelakang tapi dilarang oleh panitia pengajian karena aku anaknya Bapak, anaknya tokoh masyarakat. Beberapa orang kemudian menyalami dan mencium tangannya. Mau tidak mau, aku yang berjalan mengiringi di belakangnya juga mendapat giliran disalami dan sebagaian dari yang menyalami itu mencium tanganku juga. Ah, aku selalu heran dan bangga dengan Bapakku.
Sebelum sempat duduk, seorang lelaki yang wajahnya dulu cukup akrab dengan ingatanku, menyambut Bapak dan memeluknya. Lalu keduanya tertawa. Aku lihat mata lelaki itu melirikku, mulutnya bergerak seperti menanyakan diriku pada Bapak. Lantas menyunggingkan senyum ke arahku dan mengulurkan tanganya. Aku menyalaminya.
Aku ingat. Lelaki itu adalah kawan Bapak sewaktu mondok di Semarang. Ia pernah menginap di rumahku selama tiga hari. Waktu itu aku masih kecil, belum tahu apa-apa. Aku menyukai lelaki. Ia pandai bercerita dan berkomunikasi hingga aku bercuriga kalau-kalau ia mempunyai ilmu hipnotis. Tapi aku yang tidak tahu apa-apa waktu itu, langsung lengket dan menurut padanya.
Dalam tiga hari, jika ada waktu luang, lelaki itu mendekatiku dan bercerita tentang kejadian-kejadian di luar desaku. Kadang-kadang, ia juga bercerita tentang makhluk halus hingga kalau malam aku takut kebelakang sendirian dan memilih untuk kencing di kasur. Ibuku tidak pernah marah soal ini, ia baik sekali, sebab itulah aku mencintainya.
Di kunjungan-kunjungna berikutnya, aku sudah menganggapnya teman dan selalu menagih cerita yang baru. Kalau lama ia tidak menghampiri rumah kami, sebagai teman aku merasakan rindu. Maka aku akan memutar cerita-cerita yang pernah ia lontarkan kepadaku.
Pengajian telah dimulai. Obrolan-obrolan berhenti seperti dikomando, orang-orang berkhidmad mendengar dan menyimak setiap acara. Pada acara nomor dua dari terakhir, aku diingatkan nama lelaki itu, Kyai Haji Jakfar Makruf. Tapi aku tidak pernah memanggil nama aslinya. Oleh keinginannya sendiri, aku diminta memanggilnya dengan sebutan Om Jamak. Katanya, itu nama pena, lebih nyaman dengan sebutan begitu.
Setelah namanya dipanggil, ia pun naik ke atas podium. Tak lupa dengan gaya khasnya, ia menganggukkan kepalanya ke arahku dan Bapak tanda memberi salam. Kami pun menyambut anggukannya dengan mengikuti apa yang dilakukannya.
Setelah mengucapkan salam kepada jamaah pengajian, Om Jamak segera memulai ceramahnya dengan pembukaan sebelum akhirnya memasuki inti dari ceramahnya. Cukup lama Om Jamak ceramah, kira-kira satu jam. Begitu melihat para jamaah mulai kelelahan dan kantuk bertengger di mata mereka, ia segera menyingkat ceramahnya dan mengakhirinya.
Dari ceramahnya yang cukup panjang itu, otakku bisa sedikit merekam inti yang dibicarakannya. “Seberapa pun kadarnya tapi seorang Kyai itu harus seniman. Sebab kalau tidak, paling jauh ia hanya akan jadi pegawai.”
Setelah pembawa acara mengakhiri bicaranya dengan mengucapkan salam yang juga berarti pengajian telah selesai, aku bermaksud mengajak Bapak segera pulang dan menunggu Om Jamak di rumah. Aku yakin sekali kalau Om Jamak akan menginap di rumah Bapak. Belum sempat aku menyatakan maksudku kapada Bapak, aku disuruh pulang terlebih dahulu.
Aku menuruti Bapak. Pulang.
Di perjalanan menuju rumah, aku berfikir tentang ceramah Om Jamak yang aneh. Biasanya, Pak Kyai kalau ceramah disesuaikan dengan tema pengajiannya atau ia membawa kabar gembira dari langit. Tapi ini aneh, pengajian dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad, tapi yang dibicarakan adalah Kyai dan Seniman. Selanjutnya, apa iya para jamaah yang lebih banyak terdiri dari kakek-kakek dan nenek-nenek itu faham?
Aku tidak kaget mendengar kata-kata Om Jamak, tapi tertegun bahwa itu diucapkan justru oleh seorang Kyai. Apa gerangan bahasa riil dari pikiran yang dimaksudkan Om Jamak?
Barang kali bukan dalam pengertian verbal, bahwa Kyai harus pelukis atau aktor film. Seniman adalah suatu potensi yang sadar dan peka akan gerak keindahan hidup, serta yang memelihara naluri dan kemampuan kreatifnya untuk selalu menemukan dan mengungkapkan keindahan itu. Setiap orang terlibat dalam pengalaman keindahan, tetapi seniman menangkap keindahan itu dan mampu menyatakannya. Bahkan tidak setiap seniman memiliki hal itu dalam kadar yang selalu tinggi dan kontinyu.
Kemudian pegawai. Rasanya, ada perbedaan jauh antara seniman dan pegawai. Pegawai ditentukan oleh sistem dan struktur “tertentu”, sekalian falsafah dan tujuannya. Sedangkan seniman tidak memiliki kata “tertentu”; merdeka.
Di rumah. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan Om Jamak dan mengajukan sederet pertanyaan kepadanya. Sembari menunggu, otakku dengan otomatis mengulang romantisme bersama Om Jamak.
Kyai Haji Jakfar Makruf atau temanku Om Jamak, dalam cerita ibuku, adalah pemimpin masyarakat yang suka bermain layang-layang. Mengalbum hampir segala macam kaset musik. Ia adalah peternak yang menulis puisi, petani yang kutu-buku. Kemudian yang terpenting, ia adalah orang yang biasa saja. Itulah sebabnya ia lebih nyaman dipanggil Om Jamak ketimbang Kyai Haji Jakfar Makruf.
Ibuku juga menceritakan ketika bulan Ramadhan Bapak sowan ke rumahnya. Di awal Ramadhan, Bapak hendak menemuinya, lantas ia mengusulkan untuk bertemu di malam hari saja, sehabis tadarrus. Kalau siang dia harus kerja di sawah, terutama karena waktu itu kemacetan sistem pengairan sawah. Dan lagi katanya, “Kalau malam kita bisa ngrokok. Kebetulan kalau siang saya ini butuh puasa juga…” katanya sambil tertawa.
Dari cerita ibuku, yang paling aku ingat adalah kata-kata Om Jamak yang terakhir, “Kalau malam kita bisa ngrokok. Kebetulan kalau siang saya ini butuh puasa juga.”
Tentu saja aku tidak salah kalau menganggap orang ini adalah orang yang paling aneh yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait dengan kata-katanya. Pertama, ia menggunakan waktu malam hari untuk ngobrol, bukan untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna. Kedua, ia menganggap puasa adalah sebuah kebetulan. Ketiga, ia menganggap puasa adalah kebutuhan.
Yang paling mengganggu pikiranku adalah hal yang kedua dan ketiga; ia menganggap bahwa puasa ada suatu kebetulan dan kebutuhan. Bagaimana mungkin? Sangat bertolak belakang dengan teman-temanku. Bagi mereka puasa adalah sesuatu yang datang tak diundang, pulang tak diantar. Bahkan sebagian dari mereka tidak puasa.
Sudah dua jam aku menunggu di ruang tamu, tapi belum juga ada yang mengetuk pintu.
Tiba-tiba istriku menghampiriku.
“Kata Ibu, malam ini Bapak tidak pulang. Bapak ikut Kyai Jakfar dan menginap di rumahnya.”
Mendengar pesan ibu yang disampaikan istriku, aku merasa kecewa. Bukan hanya pertanyaan-pertanyaanku tidak terjawab, besok aku harus kembali ke Jogja. Ini berarti aku tidak bisa pamitan pada Bapak. Dan ini adalah yang kedua kalinya. Telepon saja tidak cukup bagiku.
Aku segera melupakan Bapak dan Om Jamak. Bercengkrama dengan istriku dan membicarakan rencana-rencana hari besok.
Di tengah-tengah pembicaraan yang semakin asyik dengan istriku, handphoneku berbunyi tanda ada yang memberi pesan. Aku pun segera membuka pesan itu yang ternyata dari nomor yang tak dikenal. “Kamu pun membeli gengsi dan memanjakannya.”[]Sanggar Suto, 2006.
Di lain kesempatan, ia bercerita memiliki pelanggan wanita yang kalau membeli tiket pesawat selalu memerintahkan untuk menuliskan nama dan gelarnya selengkap mungkin. Prof. Dr. Bla Bla Bla.
Aku senang mendengar dan membicarakan hal-hal seperti ini. Hingga aku punya cukup banyak stok cerita-cerita kaum Bento. Bukan ceritanya, sebenarnya. Kalau aku pikir dan perhatikan, yang lebih menarik adalah penceritanya. Dengan karakter yang kuat, mimik yang meyakinkan, kata-kata itu keluar dari mulut menjadi kalimat dan sesampainya di telingaku telah menjadi sebuah cerita.
Kadang aku merasa kasihan pada si pencerita yang kadangkala ceritanya tidak didengarkan dan dianggap sebagai lelucon yang membual. Tapi aku selalu berkata dalam hati untuk menghibur diriku yang menahan rasa iba; teruskan saja ceritamu, aku mendengarkannya.
Semakin banyak orang-orang yang membicarakan tentang sesuatu yang mereka anggap kehormatan dan berpengaruh, aku semakin menaruh kecurigaan. Jangan-jangan mereka dibayar untuk membicarakan itu. Masalahnya, dari mereka yang memperbincangkannya, tak ada satu pun yang membicarakan dirinya sendiri. Misalnya dipertemuan santai antara Pak Amin, Pak Sugeng, Pak Yanto, dan Saya, kami memperguncingkan kehormatan dan pengaruh Pak Tomi di komunitas atau di perusahaan tertentu. Di lain kesempatan, Pak Amin, Pak Yanto, Pak Tomi, dan Saya, kami memperguncingkan kehormatan dan pengaruh Pak Sugeng di komunitas atau di perusahaan tertentu.
Kecurigaanku semakin menemui berbagai pertanyaan, apa mereka saling membayar? Buktinya, aku tak pernah diperbincangkan dalam obrolan mereka kalau aku tidak bisa menghadiri pertemuan santai yang kami jadwalkan sekali setiap minggunya. Jadi kesimpulannya, pembicaran ini memang sudah diskenario dan mereka saling membayar. Tapi yang paling menyebalkan dalam pertemuan sekali setiap minggu itu, aku selalu menjadi audien aktif. Meski begitu, obrolan mereka sangat berguna bagiku untuk kuceritakan pada istriku menjelang tidur dan memenuhi nafkah batinnya.
***
Tak ada yang aneh dalam setiap obrolanku dengan teman sejawat. Justru aneh jika menemui orang yang tidak seperti teman-teman sejawatku. Dan aku menganggap orang ini aneh karena ia tidak masuk kategori teman-temanku.
Di kampung halamanku, ketika bersama keluarga menikmati liburan anak-anak, aku mendengar dari Ibuku kalau malam nanti akan ada pengajian di masjid dan aku disuruhnya untuk menghadiri pengajian itu bersama Bapak. Malas sekali rasanya, tapi dari kecil aku tidak pernah melawan perintah ibuku. Aku turut saja.
Malam itu aku berjalan beriringan bersama Bapakku. Kami tidak banyak ngobrol, hanya sekedar menjawab pertanyaan kemudian diam. Pertanyaanku kepada Bapak hanya sekitar perkembangan desa dan beberapa saudara yang masih aku kenal. Pertanyaan Bapak padaku hanya persoalan pekerjaan, keluarga dan lingkungan hidup.
Aku dan Bapakku memang jarang membicarakan sesuatu dengan santai, selalu saja serius. Seperti ada jarak di antara kami. Itu sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak aku merantau, dikirimnya ke kota untuk belajar.
Lima belas langkah lagi kami akan sampai di masjid dan obrolan sudah terhenti, hanya empat pertanyaan keluar dari mulutku dan lima dari Bapak. Waktu kecil, aku suka sekali menghitung langkah ketika menuju masjid untuk jum’atan atau sholat ied. Masalahnya, orang-orang di desaku, ketika berduyun-duyun menuju masjid mulut mereka selalu komat-kamit menyebut nama Tuhan, kata Mbah itu namanya Wiridan. Jadi, supaya seperti mereka yang mulutnya komat-kamit, aku kecil yang tidak tahu apa-apa waktu itu, mengganti Wiridan dengan hitungan langkah kaki hingga sampai sekarang aku masih memiliki ingatan itu. Tentu saja ingatan itu adalah ingatan masa kecil dan jika dibandingkan dengan sekarang hitungan itu akan mengecil.
Sesampainya di masjid, aku dan Bapak mendapat jatah kursi paling depan, sebenarnya aku ingin duduk dibelakang tapi dilarang oleh panitia pengajian karena aku anaknya Bapak, anaknya tokoh masyarakat. Beberapa orang kemudian menyalami dan mencium tangannya. Mau tidak mau, aku yang berjalan mengiringi di belakangnya juga mendapat giliran disalami dan sebagaian dari yang menyalami itu mencium tanganku juga. Ah, aku selalu heran dan bangga dengan Bapakku.
Sebelum sempat duduk, seorang lelaki yang wajahnya dulu cukup akrab dengan ingatanku, menyambut Bapak dan memeluknya. Lalu keduanya tertawa. Aku lihat mata lelaki itu melirikku, mulutnya bergerak seperti menanyakan diriku pada Bapak. Lantas menyunggingkan senyum ke arahku dan mengulurkan tanganya. Aku menyalaminya.
Aku ingat. Lelaki itu adalah kawan Bapak sewaktu mondok di Semarang. Ia pernah menginap di rumahku selama tiga hari. Waktu itu aku masih kecil, belum tahu apa-apa. Aku menyukai lelaki. Ia pandai bercerita dan berkomunikasi hingga aku bercuriga kalau-kalau ia mempunyai ilmu hipnotis. Tapi aku yang tidak tahu apa-apa waktu itu, langsung lengket dan menurut padanya.
Dalam tiga hari, jika ada waktu luang, lelaki itu mendekatiku dan bercerita tentang kejadian-kejadian di luar desaku. Kadang-kadang, ia juga bercerita tentang makhluk halus hingga kalau malam aku takut kebelakang sendirian dan memilih untuk kencing di kasur. Ibuku tidak pernah marah soal ini, ia baik sekali, sebab itulah aku mencintainya.
Di kunjungan-kunjungna berikutnya, aku sudah menganggapnya teman dan selalu menagih cerita yang baru. Kalau lama ia tidak menghampiri rumah kami, sebagai teman aku merasakan rindu. Maka aku akan memutar cerita-cerita yang pernah ia lontarkan kepadaku.
Pengajian telah dimulai. Obrolan-obrolan berhenti seperti dikomando, orang-orang berkhidmad mendengar dan menyimak setiap acara. Pada acara nomor dua dari terakhir, aku diingatkan nama lelaki itu, Kyai Haji Jakfar Makruf. Tapi aku tidak pernah memanggil nama aslinya. Oleh keinginannya sendiri, aku diminta memanggilnya dengan sebutan Om Jamak. Katanya, itu nama pena, lebih nyaman dengan sebutan begitu.
Setelah namanya dipanggil, ia pun naik ke atas podium. Tak lupa dengan gaya khasnya, ia menganggukkan kepalanya ke arahku dan Bapak tanda memberi salam. Kami pun menyambut anggukannya dengan mengikuti apa yang dilakukannya.
Setelah mengucapkan salam kepada jamaah pengajian, Om Jamak segera memulai ceramahnya dengan pembukaan sebelum akhirnya memasuki inti dari ceramahnya. Cukup lama Om Jamak ceramah, kira-kira satu jam. Begitu melihat para jamaah mulai kelelahan dan kantuk bertengger di mata mereka, ia segera menyingkat ceramahnya dan mengakhirinya.
Dari ceramahnya yang cukup panjang itu, otakku bisa sedikit merekam inti yang dibicarakannya. “Seberapa pun kadarnya tapi seorang Kyai itu harus seniman. Sebab kalau tidak, paling jauh ia hanya akan jadi pegawai.”
Setelah pembawa acara mengakhiri bicaranya dengan mengucapkan salam yang juga berarti pengajian telah selesai, aku bermaksud mengajak Bapak segera pulang dan menunggu Om Jamak di rumah. Aku yakin sekali kalau Om Jamak akan menginap di rumah Bapak. Belum sempat aku menyatakan maksudku kapada Bapak, aku disuruh pulang terlebih dahulu.
Aku menuruti Bapak. Pulang.
Di perjalanan menuju rumah, aku berfikir tentang ceramah Om Jamak yang aneh. Biasanya, Pak Kyai kalau ceramah disesuaikan dengan tema pengajiannya atau ia membawa kabar gembira dari langit. Tapi ini aneh, pengajian dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad, tapi yang dibicarakan adalah Kyai dan Seniman. Selanjutnya, apa iya para jamaah yang lebih banyak terdiri dari kakek-kakek dan nenek-nenek itu faham?
Aku tidak kaget mendengar kata-kata Om Jamak, tapi tertegun bahwa itu diucapkan justru oleh seorang Kyai. Apa gerangan bahasa riil dari pikiran yang dimaksudkan Om Jamak?
Barang kali bukan dalam pengertian verbal, bahwa Kyai harus pelukis atau aktor film. Seniman adalah suatu potensi yang sadar dan peka akan gerak keindahan hidup, serta yang memelihara naluri dan kemampuan kreatifnya untuk selalu menemukan dan mengungkapkan keindahan itu. Setiap orang terlibat dalam pengalaman keindahan, tetapi seniman menangkap keindahan itu dan mampu menyatakannya. Bahkan tidak setiap seniman memiliki hal itu dalam kadar yang selalu tinggi dan kontinyu.
Kemudian pegawai. Rasanya, ada perbedaan jauh antara seniman dan pegawai. Pegawai ditentukan oleh sistem dan struktur “tertentu”, sekalian falsafah dan tujuannya. Sedangkan seniman tidak memiliki kata “tertentu”; merdeka.
Di rumah. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan Om Jamak dan mengajukan sederet pertanyaan kepadanya. Sembari menunggu, otakku dengan otomatis mengulang romantisme bersama Om Jamak.
Kyai Haji Jakfar Makruf atau temanku Om Jamak, dalam cerita ibuku, adalah pemimpin masyarakat yang suka bermain layang-layang. Mengalbum hampir segala macam kaset musik. Ia adalah peternak yang menulis puisi, petani yang kutu-buku. Kemudian yang terpenting, ia adalah orang yang biasa saja. Itulah sebabnya ia lebih nyaman dipanggil Om Jamak ketimbang Kyai Haji Jakfar Makruf.
Ibuku juga menceritakan ketika bulan Ramadhan Bapak sowan ke rumahnya. Di awal Ramadhan, Bapak hendak menemuinya, lantas ia mengusulkan untuk bertemu di malam hari saja, sehabis tadarrus. Kalau siang dia harus kerja di sawah, terutama karena waktu itu kemacetan sistem pengairan sawah. Dan lagi katanya, “Kalau malam kita bisa ngrokok. Kebetulan kalau siang saya ini butuh puasa juga…” katanya sambil tertawa.
Dari cerita ibuku, yang paling aku ingat adalah kata-kata Om Jamak yang terakhir, “Kalau malam kita bisa ngrokok. Kebetulan kalau siang saya ini butuh puasa juga.”
Tentu saja aku tidak salah kalau menganggap orang ini adalah orang yang paling aneh yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait dengan kata-katanya. Pertama, ia menggunakan waktu malam hari untuk ngobrol, bukan untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna. Kedua, ia menganggap puasa adalah sebuah kebetulan. Ketiga, ia menganggap puasa adalah kebutuhan.
Yang paling mengganggu pikiranku adalah hal yang kedua dan ketiga; ia menganggap bahwa puasa ada suatu kebetulan dan kebutuhan. Bagaimana mungkin? Sangat bertolak belakang dengan teman-temanku. Bagi mereka puasa adalah sesuatu yang datang tak diundang, pulang tak diantar. Bahkan sebagian dari mereka tidak puasa.
Sudah dua jam aku menunggu di ruang tamu, tapi belum juga ada yang mengetuk pintu.
Tiba-tiba istriku menghampiriku.
“Kata Ibu, malam ini Bapak tidak pulang. Bapak ikut Kyai Jakfar dan menginap di rumahnya.”
Mendengar pesan ibu yang disampaikan istriku, aku merasa kecewa. Bukan hanya pertanyaan-pertanyaanku tidak terjawab, besok aku harus kembali ke Jogja. Ini berarti aku tidak bisa pamitan pada Bapak. Dan ini adalah yang kedua kalinya. Telepon saja tidak cukup bagiku.
Aku segera melupakan Bapak dan Om Jamak. Bercengkrama dengan istriku dan membicarakan rencana-rencana hari besok.
Di tengah-tengah pembicaraan yang semakin asyik dengan istriku, handphoneku berbunyi tanda ada yang memberi pesan. Aku pun segera membuka pesan itu yang ternyata dari nomor yang tak dikenal. “Kamu pun membeli gengsi dan memanjakannya.”[]Sanggar Suto, 2006.
Komentar