Memandang fenomena kesusasteraan sebagai fenomena kebudayaan dan memperlakukannya sebagai unsur kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari paradigma atau kerangka berfikir yang digunakan antropolog untuk memahami dan menjelaskan kebudayaan itu sendiri. Beberapa paradigma ini antara lain adalah evolusi kebudayaan (Evolutionism), diffuse kebudayaan (diffusionism), fungsionalisme (functionalism), strukturalisme Levi-Strauss (structuralism).
Paradigma Evolusi Kebudayaan
Paradigma ini merupakan paradigma antropologi yang boleh dikatakan yang paling tua, hingga kini terus mengalami penyempurnaan dan banyak dipakai dalam berbagai kajian, serta berhasil menambah pemahaman yang lebih utuh tentang fenomena kebudayaan yang teliti. Yang menjadi dasar dari paradigma ini adalah teori evolusi yang menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengalami perubahan kea rah yang lebih kompleks.
Kerangka berfikir evolusionistis sebenarnya sudah ada dalam pemikiran pengamat sastra Indonesia, namun tidak sangat eksplisit atau tidak dibuat eksplisit.sehingga jarang kita mendengar adanya analisis evolusionistis terhadap karya sastra. Pemagian priodesasi karya sastra Indonesia menjadi beberapa angakatan seperti Balai Pustaka, Pujangga baru, 45, pada dasarnya mengandung benih-benih pemikiran evolusionistis.
Paradigma Difusi Kebudayaan
Dalam paradigma ini perubahan dan persamaan antar kebudayaan dipandang sebagai sebuah proses yang terjadi karena adanya kontak antar pendukung kebudayaan satu dengan yang lainnya. Kontak-kontak ini kemudian melahirkan proses peniruan, penyatuan, perubahan pelbagai macam unsur kebudayaan yang datang baik luar maupun dalam. Perubahan kebudayaan dengan demikian merupakan hasil proses difusi.
Dalam kajian filologi, bentuk kajian sastra yang tertua, seorang peneliti mencoba menentukan karya sastra mana yang ‘asli’ dibanding yang lain, di antara beberapa karya yang memiliki perasamaan dan kemiripan. Karya sastra yang lebih tua dikatakan karya yang ‘ditiru’ oleh penulis untuk menghasilkan karya sastra baru. Proses peniruan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa paradigma diffuse telah telah digunakan dalam kajian sastra.
Paradigma Fungsionalisme
Pemikiran fungsionalisme, dipelopori oleh Malinowski, berawal dari adanya kontak yang intens dari peneliti dengan objeknya yang menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif pada diri peneliti. Lewat kacamata fungsional, peneliti akan berupaya antara lain: 1. memperlihatkan bahwa unsur kebudayaan yang masih hidup dalam masyarakat pada dasarnya memenuhi fungsi tertentu dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan itu sendiri, 2. memperlihatkan keterkaitan unsur tertentu dalam masyarakat yang diteliti dengan unsur yang lain, 3. saling keterkaitan dan hubungan fungsional antar unsur tersebut juga telah membuat perubahan yang terjadi pada satu unsur kebudayaan tertentu akan mengakibatkan perubahan pada pelbagai macam unsur yang lain.
Jika pandangan ini diterapkan dalam analisi karya satra, makan kata ‘kebudayaan’ di atas cukup diganti dengan kata ‘sastra’, dan kita sudah akan dapat memperoleh hasil analisis fungsional atas suatu atau beberapa karya sastra.
Paradigma Strukturalisme Levi-Strauss
Paradigma ini merupakan paradigma yang memiliki pengaruh yang paling luas di luar antropologi. Berbeda dengan evolusi kebudayaan dan fungsionalime, yang mengambil model-modelnya dari ilmu biologi, strukturalisme Levi-Strauss banyak mengambil model dari linguistik, yang dikembangkan Saussure dan fonologi dari Jakobson. Levi-Strauss menyamakan fenomena budaya dengan fenomena lingusitik, yaitu simbolik yang lahir untuk dan dari kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi. Salah satu konsep yang digunakan adalah konsep transformasi. Transformasi di sini mengacu pada ‘perubahan’ dengan ciri tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam fenomena linguistik, dari kalimat aktif ke kalimat pasif, atau dari fonem tertentu menjadi fonem yang lain dengan fungsi yang sama karena adanya fonem-fonem lain yang mengitari. Pada transformasi ini kita tidak melihat perubahan sebagaimana yang terjadi pada fenomena sosial-budaya umumnya, oleh karena itu, barangkali, transformasi di sini lebih tepat jika dialihbahasakan sebagai ‘alihrupa’.
Paradigma Evolusi Kebudayaan
Paradigma ini merupakan paradigma antropologi yang boleh dikatakan yang paling tua, hingga kini terus mengalami penyempurnaan dan banyak dipakai dalam berbagai kajian, serta berhasil menambah pemahaman yang lebih utuh tentang fenomena kebudayaan yang teliti. Yang menjadi dasar dari paradigma ini adalah teori evolusi yang menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengalami perubahan kea rah yang lebih kompleks.
Kerangka berfikir evolusionistis sebenarnya sudah ada dalam pemikiran pengamat sastra Indonesia, namun tidak sangat eksplisit atau tidak dibuat eksplisit.sehingga jarang kita mendengar adanya analisis evolusionistis terhadap karya sastra. Pemagian priodesasi karya sastra Indonesia menjadi beberapa angakatan seperti Balai Pustaka, Pujangga baru, 45, pada dasarnya mengandung benih-benih pemikiran evolusionistis.
Paradigma Difusi Kebudayaan
Dalam paradigma ini perubahan dan persamaan antar kebudayaan dipandang sebagai sebuah proses yang terjadi karena adanya kontak antar pendukung kebudayaan satu dengan yang lainnya. Kontak-kontak ini kemudian melahirkan proses peniruan, penyatuan, perubahan pelbagai macam unsur kebudayaan yang datang baik luar maupun dalam. Perubahan kebudayaan dengan demikian merupakan hasil proses difusi.
Dalam kajian filologi, bentuk kajian sastra yang tertua, seorang peneliti mencoba menentukan karya sastra mana yang ‘asli’ dibanding yang lain, di antara beberapa karya yang memiliki perasamaan dan kemiripan. Karya sastra yang lebih tua dikatakan karya yang ‘ditiru’ oleh penulis untuk menghasilkan karya sastra baru. Proses peniruan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa paradigma diffuse telah telah digunakan dalam kajian sastra.
Paradigma Fungsionalisme
Pemikiran fungsionalisme, dipelopori oleh Malinowski, berawal dari adanya kontak yang intens dari peneliti dengan objeknya yang menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif pada diri peneliti. Lewat kacamata fungsional, peneliti akan berupaya antara lain: 1. memperlihatkan bahwa unsur kebudayaan yang masih hidup dalam masyarakat pada dasarnya memenuhi fungsi tertentu dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan itu sendiri, 2. memperlihatkan keterkaitan unsur tertentu dalam masyarakat yang diteliti dengan unsur yang lain, 3. saling keterkaitan dan hubungan fungsional antar unsur tersebut juga telah membuat perubahan yang terjadi pada satu unsur kebudayaan tertentu akan mengakibatkan perubahan pada pelbagai macam unsur yang lain.
Jika pandangan ini diterapkan dalam analisi karya satra, makan kata ‘kebudayaan’ di atas cukup diganti dengan kata ‘sastra’, dan kita sudah akan dapat memperoleh hasil analisis fungsional atas suatu atau beberapa karya sastra.
Paradigma Strukturalisme Levi-Strauss
Paradigma ini merupakan paradigma yang memiliki pengaruh yang paling luas di luar antropologi. Berbeda dengan evolusi kebudayaan dan fungsionalime, yang mengambil model-modelnya dari ilmu biologi, strukturalisme Levi-Strauss banyak mengambil model dari linguistik, yang dikembangkan Saussure dan fonologi dari Jakobson. Levi-Strauss menyamakan fenomena budaya dengan fenomena lingusitik, yaitu simbolik yang lahir untuk dan dari kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi. Salah satu konsep yang digunakan adalah konsep transformasi. Transformasi di sini mengacu pada ‘perubahan’ dengan ciri tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam fenomena linguistik, dari kalimat aktif ke kalimat pasif, atau dari fonem tertentu menjadi fonem yang lain dengan fungsi yang sama karena adanya fonem-fonem lain yang mengitari. Pada transformasi ini kita tidak melihat perubahan sebagaimana yang terjadi pada fenomena sosial-budaya umumnya, oleh karena itu, barangkali, transformasi di sini lebih tepat jika dialihbahasakan sebagai ‘alihrupa’.
Komentar