Langsung ke konten utama

Kidung Rumekso Ing Wengi dan Pandangan Estetika Secara Tradisional

Teori estetik yang eksplisit tidak diketahui dalam bidang sastra Indonesia tradisional. Tetapi ada konsepsi estetik yang secara implisit terkandung dalam sastra melayu klasik dan dalam puisi jawa kuno. Teori ini digali oleh peniliti karya-karya sastra bersangkutan dan yang kemudian dipaparkan dalam studi yang sangat menarik. Yang satu menyangkut sastra melayu klasik.
V.I. Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan Melayu: aspek ontologisnya, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta, dikesankan pada keindahan dunia segala, khususnya dalam karya seni dan sastra. Kemudian aspek imanen dari yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, gharib, tamasya, dan lain-lain, dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, kebahagiaan yang harmonis dan teratur, baik alam maupun dalam ciptaan manusia, aspek ini antara lain dalam karya sastra terwujud dalam evokasi taman yang indah-indah, keterlibatan segala panca indera dianggap ciri khas yang sempurna.
Aspek ketiga konsep indah melayu berkaitan dengan efeknya: aspek psikologis atau pun pragmatik: efek pada pembaca yang menjadi heran, berahi, luka, lupa, yang kehilangan kepribadiaannya kareana mabuk, dimabuk warna, keanekaragaman dan lain-lain, yang juga terungkap dalam penglipur lara. Jelaslah dari tulisan Braginsky pandangan estetik yang terkandung dalam sastra melayu klasik dekat dengan teori estetika arab yang ditentukan oleh ketergantungan seniman pada teladan yang agung, yaitu semesta sebagai ciptaan Tuhan. Estetika tidak jauh pula dari pandangan orang dalam abad pertengahan di dunia barat.
Hal-hal tersebut dapat kita temui di dalam teks berikut ini yang merupakan karya dari sunan Kalijaga dengan judul Kidung Rumeksa Ing Wengi.


Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputa ing lelara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawi ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling aduh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna
Sakabehing lara pan samnya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Saking braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak lulut
Kayu aing lemah sangar

Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pokiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyang arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingindaren kang widadari
Rineksa malaikat
Sakathahing rosul
Pan dadi sarira tunggal
Ati Adam uteku Baginda Esis
Pangucapku ya Musa.
Napasku Nabi Musa linuwih
Nabi Yakub pamyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
Nabi Dawud swaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing rambutku
Bagendha Li kulitingwang
Getih daging Abu Bakar singgih
Balung Bagenda Usman

Sungsumingsun patimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayub ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku rasul
Pinayungan Adam sarak
Sampun pepak sakathating para nabi
Dadya sarira tunggal

Wiji sawiji mulune dadi
Apan pencar saisining jagad
Kasamadan dening date
Kang maca kang angrungu
Kang anurat kang anyimpeni
Dadi ayuning badan
Kinarya sesembur
Yen winacakna ing toya
Kinarya dus rara gelis laki
Wong edan nuli waras

Lamun ana wong kadhendha kaki
Wong kabanda wong kabotan utang
Yogya wacenen den age
Nalika tengah dalu
Ping sawelas macanen singgih
Luwar saking kabanda
Kang kadhendha wurung
Aglis nuli sinauran mring hyang
Suksma kang utang puniku singgih
Kang agring nuli waras

Lamun arsa tulus nandur pari
Puwasaa sawengi sadina
Inderana galengane
Wacanen kidung iku
Sakeh ngama sami abali
Yen sira lunga perang
Wateken ing sekul
Antuka tigang pulukan
Musuhira rep sirep tan ana wani
Rahayu ing payudan.

Sing sapa reke bisa nglakoni
Amutiya lawan anawaa
Patang puluh dina wae
Lan tangi wektu subuh
Lan den sabar sukuring ati
Insya Allah tinekan
Sakarsanireku
Tumrap sanak rakyatira
Saking sawabing ngelmu pangiket mami
Duk aneng Kalijaga.

(Serat kidungan Warna-warni, Surakarta, Boedi Oetomo, 1919)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban