Langsung ke konten utama

Pergerakan Teater Kampus di Yogyakarta

Sebelum tahun 2000, hampir seluruh kampus di Yogyakarta memiliki kelompok teater, bahkan setiap jurusan dan fakultas. Maraknya kelompok teater ini turut menyemerakkan dunia kesenin di Yogyakarta. Jumlah kelompok teater di Yogyakarta sebelum tahuh 2000 diperkirakan mencapai seratus, bahkan lebih. Akan tetapi, geliat kelompok-kelompok teater tersebut tidak sehebat jumlahnya. Satu per satu kelompok-kelompok teater tersebur hilang dari peredaran karena berbagai sebab. Satu-satunya kategori yang masih bertahan hingga saat ini adalah Teater UKM, yaitu kelompok teater yang berada dalam naungan kampus secara langsung.

Teater UKM merupakan teater yang legal bergerak dan berproses dalam kampus dengan jaminan dana yang sudah disediakan setiap tahunnya berdasarkan program kerja yang diajukan kepada pihak Kampus. Kelompok inilah yang rutin mengikuti kegiatan-kegiatan nasional sebagai delegasi dari Kampus. Selain itu, pergerakan yang mereka lakukan meluas hingga keluar kampus. Misalnya, mengadakan performent di Malioboro.

Pada masa sebelum tahun 2000, sebelum Malioboro dibangun seperti sekarang ini, Malioboro merupakan pusat dan tujuan utama kelompok teater mengadakan performent di Yogyakarta. Hampir tiap minggu ada kelompok teater yang mengadakan pertunjukkan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat itu belum banyak gedung pertunjukan yang dibangun seperti sekarang ini. Gudeng termegah di Yogyakarta saat itu adalah Purna Budaya, UGM. Sementara saat ini banyak gedung yang dapat digunakan untuk pertunjukan teater, selain di Kampus. beberapa yang bisa disebutkan adalah Taman Budaya Yogyakarta, Kedai Kebun Forum, Galeri Arslonga, Yayasan Bagong, Pendopo Samirono, dan lain sebagainya.

Selain itu, wacana politik juga turut mempengaruhi. Potensi dan ruang yang tercipta dari perubahan politik telah mendorong telah mendorong perubahan produksi budaya pertunjukan di Yogyakarta. Bersama dengan terbukanya kemungkinan untuk menuangkan ekspresi sosial, wilayah publik berubah menjadi medan yang dimanisi, tempat berbagai praktik produksi budaya bertukar dan bersilangan.

Memasuki tahun 2000, banyak kelompok-kelompok teater Kampus di Yogyakarta mulai gugur dari seleksi alam. Beberapa sebab yang dapat disebutkan adalah 1) minimnya minat mahasiswa baru terhadap seni teater, 2) kurangnya geliat dari pegiat teater Kampus itu sendiri, 3) minimnya dana dari Kampus (karena teater dipandang miring oleh pihak Kampus), 4) terbatasnya ruang ekspresi karena setiap kali pertunjukan harus mendapatkan ijin dari pihak Kampus, 5) banyak donatur teater yang enggan mendanai teater Kampus.

Beberapa kelompok teater yang sampai saat ini masih bisa disebutkan adalah sebagai berikut:

1. Teater Gajah Mada – Universitas Gajah Mada

2. UNSTRAT (Unit Studi Sastra dan Teater) – UNY

3. Teater Tangga – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

4. Teater Loby Dua – STPMD “APMD”

5. Teater Eska – Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

6. Teater Manggar – AMIKOM

7. Teater Seribu Djendela – Universitas Sanata Darma

8. Teater Senthir – Universitas Mercu Buana Yogyakarta

9. Teater Lilin – Universitas Atmaja Jaya

10. Sanggar 28 Terkam – Akprind

11. Teater Coin – Universitas Islam Indonesia

12. Teater Arena – Institut Seni Indonesia

13. Teater Neraca – Universitas Teknologi Yogyakarta

14. Teater 42 – Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

15. Teater Altar – Universitas Kristen Duta Wacana

16. Teater Sekolah Merah – Universitas Janabadra

17. Teater Japit – Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

18. Teater Dukomen – Universitas Widya Mataram

19. Teater WW – Universitas Widya Wiwaha

20. Teater Kebon Tebu – STIE YKPN

21. Teater Dupa – Universitas Cokroaminoto

Kelompok teater kampus di atas adalah yang—sesekali—masih saat ini masih terlihat aktivitasnya. Dengan data di atas, dapat diperkirakan, seharusnya pertunjukan teater kampus banyak digelar dalam setiap bulannya. Setiap kelompok teater kampus, paling tidak memiliki agenda pementasan dua kali dalam setahun. Jika dikalikan dengan jumlah teater yang ada, maka pementasan teater di Yogyakarta dalam setahun adalah 42 kali pementasan. Artinya, akan ada tiga hingga empat pementasan dalam satu bulan yang diselenggarakan.

Faktanya, rata-rata teater kampus memproduksi satu atau dua kali pementasan pertahun. Frekuensi ini lebih dipengaruhi oleh sistem perkuliahan yang dibagi ke dalam dua semester dengan diselingi liburan semester. Biasanya, produksi dimulai pada awal semester dan mementaskannya di akhir semester. Menariknya, frekuensi pementasan ini hampir sama di setiap kampus, meskipun mereka menerima subsidi dana yang sangat bervariasi. Sebagai contoh, Teater Lilin UAJY mendapatkan Rp 15 juta pertahun. Teater Eska UIN Suka dengan Rp 2,5 juta pertahun. UNSTRAT UNY dengan Rp 20 juta setahun.

Untuk menyiasati dana tersebut, banyak dari kelompok teater kampus yang mengalih pertunjukan menjadi pertunjukan kecil-kecilan atau hanya berupa diskusi-diskusi. Sebagai contoh, Teater Dokumen Universitas Widya Mataram, karena dana yang diterima dari Kampus sangat kecil, yaitu 1 juta tiap tahun, tidak lagi menyelenggarakan produksi teater, tetapi mengalihkan pada diskusi-diskusi tentang sastra dan sesekali para anggotanya mengisi dengan performent. hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi produksi, anggota, dan dana yang diterima.

Komentar

Mohamad Rivai mengatakan…
Wauuuw.
Salam budaya

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Teror dalam Tarian Bumi Untuk Bali

Beberapa hal pokok yang masih berhubungan dengan kerangka analisis social dan budaya dengan dikaitkan perubahan yang dimiliki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, menarik untuk dibaca. Perubahan yang dimaksud di sini adalah pola pikir tokoh atau individu yang secara teranng-terangang memberontak pada kebudayaan Bali juga feminisme. Bukan perubahan-perubahan besar, seperti revolusi, perang, maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya. Tarian Bumi adalah Sebuah novel eksotis khas etnik Bali yang penuh dengan suasana dan atmosfer “pemberontakan”, sekaligus situasi ambivalen kaum perempuan dalam menghadapi realitas sosialnya. Tata sosial yang hierarkis lewat pembagian kasta, patriarkhal di mana kaum laki-laki lebih banyak mendapatkan previlese social, merupakan problem-problem fundamental yang dihadapi kaum perempuan di Bali, jika ingin menemukan hubungan yang relatif lebih equal dan lebih emansipatoris. Meski secara terang-terangan terjadi pemberontkan di sana-sini, sebagai novel per