Langsung ke konten utama

Anak dan Kreatifitas

Persoalan anak menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan bagi semua pihak, keluarga, masyarakat, pemerintah ataupun semua elemennya.berbagai komunitas dan LSM pun bermunculan dalam rangka kepedulian terhadap anak. di Indonesia, anak-anak mengalami persoalan yang komplek. secara kebudayaan mereka masih berada di tengah situasi yang menindas. gembaran tentang anak-anak ideal seperti yang tertera dalam Konvensi Hak Anak masih jauh dari kenyataan. mereka masih menjadi bagian yang terpinggirkan, tereksploitasi, terepresi olehj lingkungan dan budaya di mana mereka hidup; seperti dalam keluarga, masyarakat, pendidikan formal di sekolah maupun sektor kehidupan lainnya. modernisasi di negeri ini belum memperhatikan persoalan anak dengan baik, justru yang terjadi mereka menjadi korban dari modernitas yang tengah berlangsung.
proses pendidkan anak dalam arti luas, yaitu segala sesuatu yang bermanfaat bagi perkembangan anak—sehingga mampu mengasah potensi diri seoptimalnya serta memahami lingkungannya—belum mendapatkan tempat yang semestinya. Lembaga psosial primer bernama keluarga memiliki fungsi utama bagi sosialisasi serta menjadi pondasi awal bagi perkembangan dan pendidikan anak, namun pada kenyatannya di dalam kelurag masih banyak terjadi perlakuan yang salah terhadap anak. kurangnya perhatian orang tua terhadap anak juga merupakan bentuk perlakuan yang kurang layak. demikian pula sebaliknya, perhatian yang berlebihan dan terlalu memanjakan dapat mengakibatkan membelenggu kemungkinan pengolahan potensi anak. sedang di lapagang pendidikan formal (sekolah) anak-anak masih menjadi korban policy tingkat pusat lewat arah pendidikan yang mengekor pada kepentingan politik dan ekonomi negera. pendidikan formal tidak memberikan ruang bagi pemerdekaan anak. sebagai anak didik mereka tidak memperoleh kesempatan menegembangkan segala potensi yang diliki selusa-luasnya.
modal pendidikan formal yang telah tergeser fungsinya--dan terlah berlangsung bertahu-tahun--mengakibatkan kelalaian perhatian pada usaha pemenuhan kebutuhan primer anak-anak dalam perkembangan diri. kebutuhan bermain bagi anak pun tidak mendapatkan pemenuhan sewajarnya. maka yang terjadi, pendidikan bukannya merangsang daya kreativitas dan daya kritis anak, justru sebaliknya, membunuh daya kritis anak.
membicarakan persoalan anak tentu saja perlu mengkaji dunia di mana mereka berada. dunia anak merupakan dunia awal yang sudah semestinya dilewati oleh setiap manusia, duna di mana realitas sosial pertama kali dipahami. fase ini merupakan transformasi anak sejak dini untuk mejadi "manusia" melalui proses inilah anak dimanusiakan, mulai berkenalan dengan segala tata cara hidup, nilai-nilai dan lainnya secara bertahap. sehingga pada gilirannya akan mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat.
hakekat dunia anak adalah dunia bermain. dunia yang identik dengan kebebasan dan kreativitas. anak-anak selalu ingin bergerak dengan nalurinya untuk merespon segala apa yang ditangkap oleh panca indera dalam kesehariannya. lewat imajinasi, anak akan berusaha melakukan suatu konstruksi atas realitas yang mereka saksikan sendiri, sebuah poekerjaan kreatif. dalam bermain, anak sebenarnya mengolah suatu proses belajar. mereka belajar dengan meniru (mimesis) apa yang mereka amati dalam lingkungannya. bentuk dari permain-main yang akan merangsang anak dalam rangka menggali potensi, kreativitas dan daya kritis mereka dapat di wujudkan dalam sebuah permainan teater.
sebagai bagian dari seni, teater merupakan sebuah fenomena sosial (Gurvitch, 1956: 73). proses bermain teater merupakan sebuah proses "pendidikan alternatif". mirip dengan formulasi pendidikan Paulo Friere yang bermuara pada usaha memanusiakan manusia. sebab di dalam proses pendidikan alternatif tersebut terdapat kekuatan pengggugah atau penyadar (subversive force) dan pembebasan manusia (Nashir, 2001: 20). manifestasi dari tidak emansipatorisnya yaitu memerdekakan anak dengan mengembalikan ruang yang telah hilang dari diri mereka kembali, yaitu ruang bermain. ruang yang selama ini mereka tidak diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang dalam kehidupan mereka sendiri secara intens. ruang yang telah diruntuhkan oleh kekuatan dan suasana refresif pendidikan sekolah formal. ruang yang tergilas laju modernisasi. dengan ruang tersebut, anak-anak dapat mengekpresikan dirinya secara lebih leluasa dan utuh. sehingga mereka mampu mengolah potensi-potensi yang dimiliki secara optimal, mampu menyatakan isi pikiran dan perasaannya, serta mengenali realitas sekitar. ruang yang pada akhirnya mengantrakan ke gerbang kesadaran sebagai subyek bagi dirinya sendiri.
semuanya itu berlangsung dalam sebuah wadah bernama tetaer. salah satu media alternatif bagi upaya pembebasan kaum tertindas, seperti yang diyakini August Boal (via Nashir, 2001: 21) bahwa teater mempunyai kekuatan sebagai media pendidikan dan bahasa komunikasi untuk upaya ke arah perubahan yang lebih manusiawi atau tranformasi sosial yaitu proses pencipataan hubungan yang secara fundamental baru dan lebih baik. yakni terciptanya "stuktur" sosial ekonomi, politik, budaya, pengetahuan, gender dan lingkungan yang lebih adil (Mansour Fakir, 1995). dengan kata lain, teater sebagai media pendidikan berperan dalam proses demokratisasi dan keadilan. mungkin teater memang buka revolusioner, tetapi jelas ia merupakan suatu latihan (rehearsal) untuk sebuah revolusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban