Langsung ke konten utama

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus.
Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih.
Untuk bakat menulisnya sendiri, berawal dari rasa irinya pada kakaknya, Kholil Bisri, yang seorang penulis juga. Pada masa Gus Mus kecil, beliau sangat iri terhadap kakaknya, jika tulisan kakaknya termuat di media massa baik lokal maupun nasional. Dari situ, Gus Mus kecil mulai menulis dan mengejar kakaknya. Setiap tulisannya kakaknya yang termuat di media massa, beliau tempelkan di dinding kamar.
Setelah Gus Mus belajar menulis dan beberapa tulisannya dimuat di media massa, kemudian beliau gunting dan tempelkan di dinding menutupi tulisan kakaknya. Dengan begitu, beliau akan senang sekali dan tertawa-tawa sendiri.
Namun begitu, apa yang dilakukan Gus Mus sebenarnya adalah mencoba yang pada akhirnya kecanduan. Tapi, “percobaan” Gus Mus bukan sembarang coba-coba. Tebukti dengan hal itu Gus Mus hingga sekarang terkenal sebagai seorang kyai yang Da’i, yang seniman, yang budayawan, yang sastrawan, dan yang paling disayang oleh Ibunya. Bahkan Joko Pinurbo, yang turut berjasa atas gelar kesastrawanan Gus Mus mengatakan dalam suasana bercanda “Panjenengan (anda) merebut lahan saya”.
Semenjak Gus Mus menulis, banyak diantara kyai dan orang-orang di lingkungan sekitar yang awalnya tidak menyukai sastra menjadi senang membaca karya sastra, bahkan ada yang sampai berlangganan media massa untuk mengikuti perkembangan sastra mutakhir. Banyak sekali saran, kritik dan sanjungan yang dialamatkan kepada beliau. Hal ini menunjukkan bahwa gelar-gelar Gus Mus selain kyai menjadi barokah, rahmatallil alamiin melihat efek dari apa yang beliau lakukan. Kaum sastra sudah seyogyanya berterima kasih kepada beliau.
Gaya kepenulisan Gus Mus sangat berbeda dengan sastrawan lainnya, bahkan yang sealiran dengan beliau, sebut saja D Zawai Imron, Taufik Ismail, Danarto. Gaya kepenulisan Gus Mus lebih linier dan apa adanya. Terkadang dalam pengungkapannya, belaiu dapat lugu sekali atau bahkan sangat ganas.
Menjadi sangat mungkin, jika untuk mengulas antologi Gus Mus membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menyelesaikannya. Ada beberapa hal yang menjadi momok dalam mengulas puisi Gus Mus.
Gus Mus mampu mewujudkannya dengan membandingkan antara Al qur'an dengan kehidupan sekelilingnya, perjalanan hidupnya, ritual religiusnya, dan lain sebagaianya. Mengulas puisi Gus Mus berarti juga mengulas Al qur'an. Dalam Al qur'an, sering ditemui beberapa ayat yang esensinya sama dengan ayat yang lain dan pada ayat yang lain lagi terkadang dijumpai ayat yang bertentangan dengan ayat yang pertama.
Untuk mengulas antolgi Gus Mus di samping kami harus ditamani Al qur'an dan terjemahannya. Tapi, sebuah pertanyaan, kenapa kami memilih antologi Gus Mus? Pertanyaan ini sama jawabannya dengan jawaban jika seorang lelaki harus ditanyai kenapa dia harus menikah.
Membaca puisi seperti halnya berada di atas sampan yang dengan sungai dibawahnya penuh tikungan-tikungan dari dunia imajiner. Terkadang dengan tiba-tiba perahu kita membentur batu besar, padahal sejak perjalanan jauh tadi kita tidak melihatnya ataupun tanda-tanda adanya batu di depan di mana perahu kita akan meliwatinya. Tapi juga jangan heran, jika setelahnya kita akan menyaksikan sebuah pemandangan indah. Suatu ketika jantung kita juga bisa berhenti detaknya, sebab sampan yang kita naiki berhenti dan kandas di tengah-tengah padang pasir yang begitu sepinya.
Dengan deskripsi di atas, puisi sudah dapat dikatakan; puisi adalah kehidupan. Dalam puisi, penyair dengan berbagai pertimbangan, kata mana yang harus digunakan dari sekian juta kata yang tersedia: pilihan diksi. Begitu juga dengan sebuah kehidupan, jalan mana harus digunakan untuk mencapai yang sebenar-benarnya sebuah kehidupan. Hasil pertimbangan dalam mencapai sebenar-benarnya sebuah kehidupan disebut sebagai puisi. Semakin banyak jalan yang ditempuh, maka akan semakin banyak pertimbangan yang dihadapinya. Tetapi dalam puisi, semakin banyak pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan, maka akan semakin matang pula serat-serat puisi dan penyairnya.
Namun, sebuah proses akhir; Style dari sebuah kesimpulan. Sajak Sitor Sitomurang, “Malam Lebaran”, bulan di atas kuburan, misalnya, adalah merupakan style dari kesimpulan atas sebuah perjalanan panjang dan rumit dari penyairnya. Namun, hal ini tidak menjanjikan sebuah puisi akan tampil dengan baik.
Tadarrus, sebuah kumpulan puisi Gus Mus kedua setelah lahirnya Ohoi. Seorang kyai dengan kesimpulan sudut pandang manusia sehari-hari: kehidupan sekelilingnya, perjalanan hidupnya, ritual religiusnya dan sebagainya. Tidak jarang akan ditemukan romantisme religiusitas dalam puisinya. Hubungannya dengan Tuhan yang begitu dekat. Hal ini tercermin dalam puisi Dzikir, biar angin mengirim badai/ biar kilat mengirim halilintar/ biar demit mengirim bangkai/ biar iblis mengirim makar// aku terus berdikir/ bersama burung-burung dalam sangkar/ aku berdzikir jahri ya ya ya/ bersama rumput-rumput yang terinjak/ aku berdzikir khafi tidak tidak tidak// aku terus berdzikir/ biar sepi mengirim seyap/ biar nafsu mengirim syahwat/ biar lena mengirim lelap/ biar angkara mengirim laknat// aku terus berdzikir/ bersama dedaunan yang tercampak/ aku berdzikir siap pak siap pak/ bersama bebatuan yang terlempat/ aku berdzikir akhfa munkar mungkar mungkar// aku terus berdzikir/ entah sampai kapan/ bersamamu.
Dalam puisi tersebut kita bisa menyaksikan, bagaimana "aku" menjadi seorang remaja yang baru saja mengalami pubertas yang pertama. Begitu menggebunya cinta yang tertanam pada Tuhannya sehingga "aku" harus berdzikir di mana pun dan kapan pun. "aku" bertawaddu' menyamakan dirinya dengan burung dalam sangkar, karena "aku" memang abdi Tuhan yang tidak akan bisa lari dari Tuhannya. Di mana pun"aku" berada, di situ ada Tuhannya. Seperti rumput-rumput yang terinjak, betapa kerdilnya "aku" di hadapan Tuhannya yang Maha Agung. Dalam puisi tersebut, "aku" adalah orang yang merasa kerdil, merasa jelek, merasa tidak bisa berbuat apa-apa, seperti remaja yang baru saja mengalami pubertas yang pertama, yang di depan kekashinya harus merasa merendahkan dirinya untuk mendapatkan perhatian dari kekasihnya tersebut. Tapi, "aku" tidak takut menghadapi segala marabaya untuk menemui Tuhannya. Tentu, tidak bisa dipungkiri lagi keremajaan "aku" dalam puisi tersebut, yang dengan segala yang ada dan dengan keberanian untuk menyingkirkan segala yang menghalang di depan remaja harus sampai ke rumah kekasihnya sekedar melepas kangennya atau sekedar apel malam minggu.
Gus Mus menyerahkan diri secara total sembari berjalan dengan tafakkur. Sedang perjalannya sebagai penyair, dia berjalan, mata dan hatinya menatap alam semesta dan puak manusia dengan ngungun, penuh pertanyaan dan ketakjuban. Dalam menatap alam dan tingakah pola manusia Gus Mus mendengarkan firman Allah dan sabda Nabi Muhammad, yang sesungguhnya adalah merupakan puisi-puisi. Uluran puisi surgawi disambut dengan puisi bumi. Bagai dalam kekhusukan klimaks berdzikir, puisi-puisi tersebut mengalir dengan indah, bercinta di sembarang tempat.
Gus Mus yang kyai, yang memimpin sebuah pondok pesantren Roudltut Tholibin di Rembang Jawa Tengah, yang setiap harinya mendidik santri-santrinya untuk menjadi Islam paripurna, ternyata masih bertanya dengan gundah.

………
Tuhan, islamkah aku?
(Puisi Islam)

atau

………
Allah, hendak Engkau hancurkan dengan cara apa kami
Maka
Engkau kirim-kuasakan virus-virus penyebar
Ketidakpastian yang dari hari ke hari menggerogoti
keyakinan
……….
(Allah Ampunilah Kami)

dalam puisinya yang lain:

………
Tuhan, selimutilah aku
Dengan rahmatMu
(Titik-titik Hujan)

Gus Mus juga membuat kesimpulan-kesimpulan kecil dan pendek yang menggugah.

Semula dengkurnya menggangu tidurku. Kini tak lagi.
(Nurani)

Jika terbit disini
Aku tak peduli akan tenggelam dimana
(Matahari)

Laut,
Aku ingin meminum habis airmu
Tapi untuk apa?
(Laut)

Bulan,
Ayo berpandang-pandangan
Siapa yang lebih dahulu berkedip
Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya
(Bulan)

Bahasa yang digunakan Gus Mus dalam sebagian puisi-puisinya merupakan bahasa pesantren pesisiran, yang kadang-kadang dengan seenaknya diucapkan, tanpa mengikuti aturan-aturan baku. Tidak ada kata-kata yang secara sengaja dibuat-buat agar menjadi indah, keindahan yang tersirat dalam puisi-puisi Gus Mus mengalun dengan sendirinya.
Gus Mus kadang-kadang terkesan tidak sungguh-sungguh dalam menuliskan puisinya. Akan tetapi, karena menulis dengan ruh kemanusiaan dan religiusitas yang dalam, maka apa yang ditulis Gus Mus dan dikatakannya sebagai puisi tidak bisa disangkal kepuisiannya. Beberapa contoh puisi Gus Mus yang bergaya seenaknya yang terasa akrab dengan pembacanya;


……….
Ternyata TVYa sedang menayangkan gambar-gambar Ya
Ganti lagi! TVYa! Ternyata TVYa sedang menyiarkan berita Ya ya ya
Tapi sebentar! Di akhir siaran penyiar Ya yang manis
ada melapokan berita penting: diamankannya seorang
warganegara yang terbukti bernama tidak dan beberapa kali
kedapatan mengatakan tidak.
(Negeri YA)

………


Hoahaha hoahaha

Hoahaha mengajarkan hak asasi
Hoahaha menebarkan intimidasi
Hoahaha menatrkan demokrasi
Hoahaha mengamalkan tirani
(Dajjal)

MANTAN RAKYAT

Mantan rakyat bertemu rakyat
Berbicara atas nama rakyat demi rakyat
Dan rakyat pun saling bertanya
Apakah dia pernah jadi rakyat?

Akan tetapi, jika Gus Mus berhubungan Tuhan, kesadaran kemakhlukan dan kehambaannya terasa memancar dari susunan kata-katanya. Menimbulkan sajak yang indah, sajak “Di Pelataran AgungMu Nan Lapang”, misalnya. Dalam sajak tersebut, Gus Mus kembali mengungkapkan kekerdilannya di hadapan Tuhannya seperti dalam sajaknya “Dzikir” yang dikutip di atas. Di sana juga terlihat keromantisan Gus Mus bersama Tuhannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban