aku menyebutmu
dataran rendah berumput tak berpohon
yang tak mengijinkan matahari bergeliat
di dadamu, membakar lagu-lagu
tentang keberanian kuda-kuda meringkik di bukit-bukit
menghanguskan perjanjian waktu
mengutuki pejalan kaki dengan peluhnya.
kau bakar dupa ditubuhmu,
sebagai bumi yang menemani gelisah kematian
lewat cangkir-cangkir kopi
juga rapalan kata;
mengadukan nasib
yang tak pernah memberi upah
dan selalu mengubah jalan pulang
menuju sungai-sungai,
tempat terindah pemandian peri.
kaupun berkelok
terpesona peri
meliuk di tubuh sungai
di getaran dawai kecipak air
hingga waktu tunduk di kakimu
lalu ketika matahari kau genggam
aku tunduk di matamu
tersingkap tubuhku
laksa warna tak merah
tapi di ranjangku,
sepuluh ribu tetesan merah ngalir dari tubuh yang sunyi
aku,
sejuk di dadamu,
pulas mendengkur.
Djogjakarta, 2008.
Komentar