Langsung ke konten utama

Ampolop Coklat, Tanda Cintaku Padamu.

Telinga adalah salah satu dari panca indera yang sangat vital bagi makhluk manapun. Namun lain ceritanya jika telinga itu masuk dalam imaji seorang Seno Gumira Ajidarma (SGA), seperti kalau kita baca cerpennya berjudul Telinga dalam kumpulan cerpen Saksi Mata, yang memuat banyak kekerasan dalam hidup. Dalam kumpulan cerpen tersebut, SGA tidak secara gamblang menggambarkan semua kekerasan yang ia lihat, rasakan, bahkan ia alami sendiri, melainkan selayaknya karya fiksi lainnya, ia banyak mengunakan simbol-simbol sebagai pengungkapan responnya terhadap segala peristiwa, bukan metafor, tolong dibedakan.
Telinga adalah salah satu misal dari kumpulan cerpen tersebut yang banyak menggunakan simbol-simbol sebagai pengungkapnya. Telinga itu sendiri telah menjadi simbol tak berkesudahan jika kita mengungkapnya. Sebagai telinga tentu tugasnya adalah mendengar. Diinginkan atau tidak oleh pemiliknya, telinga akan menangkap semua yang bersuara. Telinga itu bagaikan antena yang mampu menangkap pesan apa pun yang bertebaran di udara, begitu kata SGA. Tapi bagaimana jika telinga itu dipotong? Mengerikan bagi kita. Namun, SGA mengemasnya menjadi sesuatu yang tidak mengerikan. Telinga yang dipotong seperti halnya cindera mata yang sering kita berikan kepada orang lain, menjadi hiasan apik yang menyenangkan untuk dipandang, bahkan seperti coklat yang dapat kita makan setiap hari.
Telinga telah menjadi neon-neon kecil yang dipajang pada pohon natal sebagai hiasan atau yang biasa berpijar di depan rumah kita saat datang waktunya untuk merayakan hari Proklamasi. Dewi lantas menggantung telinga itu di ruang tamu. Warna-warni lampu yang dipajang, berbeda bentuk pula telinga-telinga yang digantung oleh Dewi. Entah berapa ratus orang yang telah dipotong telinganya. Telinga-telinga itu mengalir semakin deras menuju rumah Dewi hingga Dewi bingung harus di mana meletakkan telinga-telinga itu. tak ayal, Dewi pun dengan gampang memberikan telinga itu kepada teman kuliahnya.
Darah yang masih mengalir dari telinga semakin memperindah telinga yang bergelantungan di penjuru rumah. Masih ingin mendengarkan suara-suara, tapi bisa diketahui ia masih merasakan sakit yang amat serasa luka itu tak pernah tua. Terus hidup dan muda hingga telinga itu masih harus lama merasakan sakit atau tak pernah hilang rasa sakit itu.
Anehnya, rumah yang telah dihuni puluhan, bahkan ratusan telinga yang masih mengucur darah itu, tidak menjadi merah oleh darah. Ini menjadi kelemahan dalam cerpen ini. Ya, Dewi selalu mengepel lantai setiap hari, setiap kali bangun tidur. Tapi apakah mungkin tanpa berkas apapun hingga rumah Dewi tetap bersih? Apa tidak ada darah yang menetes ke tembok, meja ruang tamu, kursi-kursi, dan repabotan rumah tangga lainnya? Yang Dewi alpa dalam membersihkannya. Tentu ini menjadi pertanyaan.
Di sisi lain, tentang kesetian cinta mereka berdua. Meski keduanya (Dewi dan pacarnya) saling mengutarakan kesetiaanya, bisa kita lihat itu hanya mampir di mulut saja. Seorang perempuan akan menyimpan rapi apa yang telah diberikan kekasihnya, yang ia cintai tentunya. Cinta yang penuh kekaguman karena peperangan. Mungkin dengan kelelahan dan keringat, pacar Dewi memotong dan memilihkan telinga yang bagus untuk dikirim kepadanya. Tapi Dewi sedikit menyimpang dengan memberikan telinga itu kepada temannya. Dari sini, Dewi sudah tidak menganggap telinga yang diterima hampir setiap hari itu sebagai kenang-kenangan. Lalu bagaimana dengan telinga-telinga yang sudah dipasangnya? Dewi sendiri juga suka telinga-telinga itu, bahkan bukan karena kiriman kekasihnya melinkan memang dewi suka. Bisa jadi, ia memajang telinga itu hanya untuk kesenangannya karena ia suka telinga itu.
Pertanyaan tentang kesetiaan juga perlu kita berikan pada pacar Dewi. Ia tak bisa menulis surat untuk membalas surat Dewi karena kesibukanya, tapi ia selalu rajin dan bisa mengirimkan telinga-telinga kepada Dewi. Kesimpulannya, antara keduanya, tak ada lagi permainan hati, hanya formalitas pacaran. Mengirim surat, membalas surat. Toh kalau mereka mengunakan hati, tentu hanya sisanya. Apakah pacar Dewi tidak disediakan perempuan dalam pesta peluru itu?
Seperti diungkap di atas, telinga adalah salah satu dari panca indera yang sangat vital bagi makhluk manapun. Pemotongan telinga menjadi hal yang kejam karenanya. Tidak seperti rambut, bulu atau jembut, yang sering kali kita potong. Belum puas juga, karena telinga yang masih mengalir darah itu dianggap hidup dan bergerak-gerak seakan-akan masih mampu untuk mendengar, ditebaslah pula kepala pemilik telinga itu. ngeri? Tapi apa di balik itu?
Jika kita lihat karya-karya SGA yang lain, sebutlah Mengapa Kau Culik Anak Kami (drama), Iblis Tak Pernah Mati (Kumpulan Cerpen). Di sana banyak sekali mengungkap kekerasan-kekerasan pada masa Orde Baru yang disimbolkan dalam banyak hal. Lepas dari kumpulan cerpen Saksi Mata, Telinga adalah salah satunya. Telinga-telinga dilarang mendengar apapun dari penguasa pokoke nderek mawon. Ini disimbolkan dengan pemotongan telinga. Dan bagi yang sudah mendengar jika buka mulut akan mengalami nasib yang sama seperti yang disimbolkan dengan pemangkasan kepala leher. Penculikan-penculikan adalah upaya untuk membungkam para pemberontak bagi mereka. “kami memang biasa memotong telinga orang-orang yang dicurigai, sebagai peringatan atas risiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan”
“tapi banyak orang menganggapnya pahlawan” selalu ada dua pandangan. Ia pahlawan atau penindas. Dari sisi mana kebenaran harus kita ambil. Dari narator saja kita tau sudah ada dua pendapat yang berbeda. Tentang kebenaran, itu sesuai keyakinan temen-temen. Aku tidak bisa menyimpulkan. Tapi aku milih “Alangkah kejamnya pacar Dewi itu,”
Barang kali akan menjadi hari yang sial bagi kita, jika tiba-tiba kita mendapatkan kiriman yang berisi potongan telinga. Kaget, bisa saja pingsan. Tapi, hari itu menjadi indah bagi Dewi. Sebuah amplop cokelat melayang ke arah alamat rumahnya dan berisi potonga telinga. Tentu bukan karena kekasihnya yang mengirimkan hadiah itu hingga Dewi tidak merasa ngeri, malahan senang. Para tamu yang berkunjung ke rumahnya pun terkagum begitu melihat pemandangan itu. dan Dewi pun menjawab dengan bangganya “Oh, itu telinga orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh, pacarku mengirimkannya dari medan perang sebagai keang-kenangan.”
Lebih lagi jika karena itu kiriman dari kekasihnya kadang-kadang, bila Dewi merindukan pacarnya, ia memandangi telinga itu sendirian malam-malam.
Amplop cokelat. Seperti biasa, amplop hanya sebentuk kertas lipatan segi empat berfungsi sebagai penyimpan kertas juga. Cokelat: manis, enak, atau biasa untuk hadiah dari pacar terhadap perempuannya. Romantis penuh gairah cinta. Atau bisa jadi, seragam pramuka. Setiap hari di lapangan membentuk formasi seperti halnya pacar Dewi yang selalu berada di medan tempur. Amplop cokelat adalah jiwa romantis seorang tentara terhadap kekasihnya yang jarang sekali bertemu. Amplop cokelat adalah jiwa gagah seorang tentara, pahlawan (kata orang), pembela ibu pertiwi. Kekerasanlah yang terus dijumpainya, hingga seikat cinta harus terwakili oleh amplop cokelat yang dikirimkannya kepada kekasihnya.[]Djogjakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban