Sengaja, aku membuat pertemuan denganmu siang ini. Ada yang mesti kita bicarakan; tentang bunga matahari yang kita tanam di tempat biasa kita bertemu; disebuah taman kota di samping kiri dari arah barat di bawah pohon rindang, entah apa nama pohon itu. Bunga matahari itu sudah semakin besar, tangkainya semakin banyak dan bercabang ke mana-mana. Tujuh tangkai yang bercabang. Hanya saja sekarang lebih rapi. Aku yang merawatnya beberapa hari terakhir ini, setelah lama kamu tidak terlihat di taman kota itu lagi. Dan sebelum tumbuh tangkai-tangkai yang lainnya dan aku akan semakin repot untuk mengurusinya, maka pertemuan siang ini aku rasa sangat perlu. Sepertinya kamu sudah tidak lagi memperdulikannya.
Sengaja pula aku menentukan tempat pertemuan kali ini tidak di tempat biasa kita bertemu. Aku takut kalau saja bunga matahari itu mendengar pembicaraan kita. Dan dia akan kecewa kalau kamu memutuskan untuk menghentikannya proses fotosintesisnya. Dan itu sangat mengecewakan lagi bagiku.
Sebagaimana seorang pelukis yang membutuhkan jutaan liter cat dan berlembar-lembar kanvas untuk apresiasi karyanya. Sebagaimana handphone-mu yang selalu ingin diisi pulsa agar selalu bisa berhubungan dengan handphone yang lainnya. Sebagaimana dua sejoli muda yang membutuhkan cinta sebagai spirit hidup. Ya, Seperti itulah bunga matahari itu begitu penting bagiku. Sebab, bunga matahari yang kita tanam sejak tiga bulan yang lalu itu mempunyai arti penting dalam kisah kita, yang aku katakan sebagai interlude mawar merah.
Aku masih ingat pertemuan kita pertama kali, disebuah taman kota. Kamu duduk membaca buku, sembari sesekali menulis dalam buku catatanmu, entah sedang mengerjakan tugas kuliah atau sekedar meresume. Waktu itu aku tidak begitu peduli. Aku juga sedang sibuk menunggu seorang teman yang mengajakku kencan di taman itu. Katanya ada job yang mau dibagikan kepadaku.
Temanku itu tidak begitu suka dengan tempat-tempat yang formal untuk membicarakan sebuah job; di kantor atau di tempat yang semacamnya. Maka, sebuah taman kota dianggapnya tempat paling cocok untuk membicarakan job-job yang dia tawarkan. Bukan hanya padaku dia mengajak ke taman itu untuk membicarakan job-job yang ditawarkannya, tapi juga teman-temannya yang lain. Bahkan, ketika salah seorang temannya datang dari luar negeri pun, dia tidak mengajaknya ke kantor, melainkan ke taman itu. Aku juga tidak habis piker orang sekaya itu memilih taman kota untuk membicarakan setiap job yang ditawarkannya. Kalau tidak mau dikantor kan bisa saja di kafe atau restorant, tapi aku pikir taman cukup romantis.
Kamu sedang asyik mengotak-atik buku. Aku duduk disampingmu. Karena memang tidak ada kursi yang lain yang kosong dan lagi pula, memang kursi itulah yang ditunjuk teman kencanku; di samping kiri dari arah barat di bawah pohon rindang. Tapi, rupanya kamu lebih dulu duduk di kursi itu. Aku tidak bisa mengusirmu. Taman itu bukan milikku, juga temanku yang mengajak kencandi tempat itu.
Matahari terasa panas waktu itu, angin pun malas memberi kesegaran, bahkan debu yang tidak pernah lepas dariku, siang itu seperti cuek dan tidak mau tahu tentang kehadiranku. Begitu juga dengan dirimu, asyik mengotak-atik buku. Bahkan, ketika sebuah kertas catatan jatuh dari buku yang kamu otak-atik itu kamu seolah tidak tahu. Aku melirikmu, kamu tidak merespon sama sekali, juga kepada kertas catatan yang jatuh dan sudah tergeser dari tempat semula dia jatuh karena tertiup angin. Aku mengambilnya, membungkuk, kamu belum juga merespon.
Aku ragu untuk menyapamu. Memberi tahu kalau kertas catatanmu jatuh dan aku sudah mengambilkannya untukmu. Aku takut kalau-kalau aku akan mengganggu keasyikan dalam membacamu. Aku hanya diam, menunggumu selesai membaca.
Aku kembali disibukkan Pekerjaan yang paling menyebalkan itu. Seorang teman yang aku tunggu-tunggu belum juga datang. Biasanya dia tepat waktu dan aku yang terlambat, tapi rupannya dia yang terlambat tau mungkin tidak datang. Aku sudah menunggunya sekitar empat puluh lima menit. Aku datang ke taman kota itu jam sembilan tepat, tidak kurang tidak lebih sebagaimana yang temanku janjikan. Aku sudah bersusah payah untuk menepati janji itu karena harus bangun pagi. Bangun pagi bagiku adalah sebuah dosa. Dan sekarang, jam sudah menunjuk sembilan lewat empat puluh lima menit. Kemana? Lupa? Tidak mungkin, dia selalu ingat. Bahkan sampai hal terkecil pun.
Aku pernah berhutang padanya seribu rupiah dan itu sudah lama sekali, aku pun lupa dan melupakannya. Tapi seminggu yang lalu dia menagih hutang itu. Katanya hutang itu sudah tiga bulan dan aku belum melunasinya. Tentu saja aku kaget. Bukan soal uangnya, tapi bagaimana kita bertanggung jawab menepati janji dan melunasi hutang-hutang kita, katanya. Aku kira itu hanya dalih untuk menagih hutang. Toh, pada akhirnya dia meminta uang itu juga.
Namun, sekarang dia harus terkena batu yang dilemparkannya sendiri padaku. Ia tidak bertanggung jawab, menepati janji, dan untung saja kali ini tidak ada hubungannya dengan hutang. Tapi, bukankah janji itu adalah hutang. Ah, dia tetap saja huatng padaku.
Kamu mengagetkan keasyikanku menikmati kejengkelan. Kejengkelan memang harus dinikmati agar tidak mendendam. Maaf, kertas catatan saya, sembari menunjuk kertas catatanmu yang aku pegang. Aku grogi, kaget.
“E…e..e.. maaf.” kamu menatapku tertawa.
“Ini tadi terjatuh” kataku menjelaskan dan menyodorkan kertas catatan itu padamu. Kamu masih tertawa, membalikkan dari arah keberadaanku. Aku terheran-heran.
“Apa ada yang lucu, Mbak?” dan kamu masih tertawa kea rah jauh.
Telapak tangan aku dekatkan ke muka, mencoba meraba, barangkali ada yang salah dengan wajahku atau ada semacam benda yang menempel. Tidak ada apa-apa di wajahku. Tertawamu membubuhi rasa jengkelku. Tapi kamu orang yang tidak aku kenal, aku tidak dapat berbuat lain kecuali bertanya: ada apa, apa ada yangs alah padaku?
“Tidak, tidak ada yang salah” jawabmu. Tanganmu meraih kertas catatan yang aku pegang dari tadi.
“Lalu kenapa tertawa, Mbak?”
“Lucu aja”
“Lucu?”
“Ya, kamu lucu. Lihat wajahmu yang kebingungan itu,” kamu tertawa lagi, hanya saja kali ini kamu bisa menahannya.
Kamu pun menanyakan namaku, dan sebaliknya. Aku mmengulang pertanyaanmu supaya mendapatkan jawaban yang sama seperti apa yang aku jawab dari pertanyaanmu. Kita pun asyik mercengkrama.
Ya, begitulah awal pertemuan kita. Kamu yang lebih dulu membuat pertemuan denganku. Kamu bilang aku oramng yang unik dan lucu. Kamu membuat taman itu terisi oleh tawa kita. Kamu begitu pandai membawa perasaan. Hari itu menjadi asyik, kejengkelan menunggu telah tersisihkan. Tersisihkan oleh hari yang asyik. Tawa yang lepas.
Cukup lama kita tenggelam dalam keasyikan bercengkrama dengan orang yang baru saja kita kenal. Di sela-sela reda tawa, aku teringat kembali kepada kopi di depanku yang mulanya panas tel;ah menjadi dingin dan sudah hampir habis. Kursi dan meja dihadapanku juga sudah merasa bosan. Mereka juga resah menunggu untuk diduduki pantatmu.
Aku menjadi sangat bosan. Tanganku meraih cangkir kopi dan mulutku mulai meneguknya. Kopi itu sudah terasa tidak enak lagi, dingin. Satu tegukan lagi kopi itu akan habis dan berarti pula masa penungguanku telah usai dan keputusan harus ada, meski sepihak. Kewajibanku untuk menepati janji telah gugur. Tapi, kakiku begitu enggan untuk meninggalkan tempat itu. Sayang sekali kalau hari ini aku sampai tidak bertemu denganmu. Hari ini adalah penentuan; bunga matahari itu akan mati atau terus hidup. Matinya bunga matahari yang kita tanam bersama akan memberi arti matinya mawar merah yang sudah tumbuh semakin besar di sekililingnya. Datanglah, Irma!
Seperti siang pertama kali kita bertemu, semua yang disekeliling mengacuhkan adaku. Bedanya, angin siang ini bertiup agak kencang. Langit kulihat berwarna agak hitam, barang kali dia mendung. Tapi angina yang membawa mendung itu seperti berjalan kea rah barat, terus bergerak. Entah mau dibawa ke mana mendung itu oleh awan. Dalam hatiku juga ada mendung, mendung menunggu. Hanya saja, mendung dalam hatiku tidak bergerak dan sudah menurunkan rintik-rintiknya. Dan mungkin sebentar lagi akan ada hujan dalam hatiku.
Angin bertiup semakin keras. Tangan kananku terasa tertetesi air dari atap tapi atap di mana aku duduk adalah langit. Rupanya hujan akan turun.
Di hatiku sudah hujan, aku tidak betah lagi. Cepat aku teguk kopi terakhir dan pergi. Sial, aku lupa bayar lagi. Terdengar suara penjaga kafe berteriak memanggil, aku menoleh dan kembali ke kafe itu. Setelah membayar uang kopi aku ingin segera pergi tapi hujan di luar sudah bertubi-tubi. Aku duduk lagi dan memesan secangkir kopi. Hujan tak kunjung usai.
Bersama habisnya seduhan kopi yang pertama, bersama air hujan yang terus sambung menyambung turun. Aku mengambil keputusan sepihak. Aku putuskan untuk menghentikan saja proses fotosintesis bungan matahari itu dan bunga mawar yang tumbuh disampingnya akan aku cabut juga. Tapi, kopi yang kedua memberi isyarat, aku harus menanam bunga lain. Ya, bungan lain dan bersama wanita lain juga tentunya.[]Djogjakarta, 2004.
*) cerpen ini masuk dalam 10 nominasi penulisan cerpen lomba cipta cerpen remaja oleh Balai Bahasa Yogyakarta tahun 2004.
Sengaja pula aku menentukan tempat pertemuan kali ini tidak di tempat biasa kita bertemu. Aku takut kalau saja bunga matahari itu mendengar pembicaraan kita. Dan dia akan kecewa kalau kamu memutuskan untuk menghentikannya proses fotosintesisnya. Dan itu sangat mengecewakan lagi bagiku.
Sebagaimana seorang pelukis yang membutuhkan jutaan liter cat dan berlembar-lembar kanvas untuk apresiasi karyanya. Sebagaimana handphone-mu yang selalu ingin diisi pulsa agar selalu bisa berhubungan dengan handphone yang lainnya. Sebagaimana dua sejoli muda yang membutuhkan cinta sebagai spirit hidup. Ya, Seperti itulah bunga matahari itu begitu penting bagiku. Sebab, bunga matahari yang kita tanam sejak tiga bulan yang lalu itu mempunyai arti penting dalam kisah kita, yang aku katakan sebagai interlude mawar merah.
Aku masih ingat pertemuan kita pertama kali, disebuah taman kota. Kamu duduk membaca buku, sembari sesekali menulis dalam buku catatanmu, entah sedang mengerjakan tugas kuliah atau sekedar meresume. Waktu itu aku tidak begitu peduli. Aku juga sedang sibuk menunggu seorang teman yang mengajakku kencan di taman itu. Katanya ada job yang mau dibagikan kepadaku.
Temanku itu tidak begitu suka dengan tempat-tempat yang formal untuk membicarakan sebuah job; di kantor atau di tempat yang semacamnya. Maka, sebuah taman kota dianggapnya tempat paling cocok untuk membicarakan job-job yang dia tawarkan. Bukan hanya padaku dia mengajak ke taman itu untuk membicarakan job-job yang ditawarkannya, tapi juga teman-temannya yang lain. Bahkan, ketika salah seorang temannya datang dari luar negeri pun, dia tidak mengajaknya ke kantor, melainkan ke taman itu. Aku juga tidak habis piker orang sekaya itu memilih taman kota untuk membicarakan setiap job yang ditawarkannya. Kalau tidak mau dikantor kan bisa saja di kafe atau restorant, tapi aku pikir taman cukup romantis.
Kamu sedang asyik mengotak-atik buku. Aku duduk disampingmu. Karena memang tidak ada kursi yang lain yang kosong dan lagi pula, memang kursi itulah yang ditunjuk teman kencanku; di samping kiri dari arah barat di bawah pohon rindang. Tapi, rupanya kamu lebih dulu duduk di kursi itu. Aku tidak bisa mengusirmu. Taman itu bukan milikku, juga temanku yang mengajak kencandi tempat itu.
Matahari terasa panas waktu itu, angin pun malas memberi kesegaran, bahkan debu yang tidak pernah lepas dariku, siang itu seperti cuek dan tidak mau tahu tentang kehadiranku. Begitu juga dengan dirimu, asyik mengotak-atik buku. Bahkan, ketika sebuah kertas catatan jatuh dari buku yang kamu otak-atik itu kamu seolah tidak tahu. Aku melirikmu, kamu tidak merespon sama sekali, juga kepada kertas catatan yang jatuh dan sudah tergeser dari tempat semula dia jatuh karena tertiup angin. Aku mengambilnya, membungkuk, kamu belum juga merespon.
Aku ragu untuk menyapamu. Memberi tahu kalau kertas catatanmu jatuh dan aku sudah mengambilkannya untukmu. Aku takut kalau-kalau aku akan mengganggu keasyikan dalam membacamu. Aku hanya diam, menunggumu selesai membaca.
Aku kembali disibukkan Pekerjaan yang paling menyebalkan itu. Seorang teman yang aku tunggu-tunggu belum juga datang. Biasanya dia tepat waktu dan aku yang terlambat, tapi rupannya dia yang terlambat tau mungkin tidak datang. Aku sudah menunggunya sekitar empat puluh lima menit. Aku datang ke taman kota itu jam sembilan tepat, tidak kurang tidak lebih sebagaimana yang temanku janjikan. Aku sudah bersusah payah untuk menepati janji itu karena harus bangun pagi. Bangun pagi bagiku adalah sebuah dosa. Dan sekarang, jam sudah menunjuk sembilan lewat empat puluh lima menit. Kemana? Lupa? Tidak mungkin, dia selalu ingat. Bahkan sampai hal terkecil pun.
Aku pernah berhutang padanya seribu rupiah dan itu sudah lama sekali, aku pun lupa dan melupakannya. Tapi seminggu yang lalu dia menagih hutang itu. Katanya hutang itu sudah tiga bulan dan aku belum melunasinya. Tentu saja aku kaget. Bukan soal uangnya, tapi bagaimana kita bertanggung jawab menepati janji dan melunasi hutang-hutang kita, katanya. Aku kira itu hanya dalih untuk menagih hutang. Toh, pada akhirnya dia meminta uang itu juga.
Namun, sekarang dia harus terkena batu yang dilemparkannya sendiri padaku. Ia tidak bertanggung jawab, menepati janji, dan untung saja kali ini tidak ada hubungannya dengan hutang. Tapi, bukankah janji itu adalah hutang. Ah, dia tetap saja huatng padaku.
Kamu mengagetkan keasyikanku menikmati kejengkelan. Kejengkelan memang harus dinikmati agar tidak mendendam. Maaf, kertas catatan saya, sembari menunjuk kertas catatanmu yang aku pegang. Aku grogi, kaget.
“E…e..e.. maaf.” kamu menatapku tertawa.
“Ini tadi terjatuh” kataku menjelaskan dan menyodorkan kertas catatan itu padamu. Kamu masih tertawa, membalikkan dari arah keberadaanku. Aku terheran-heran.
“Apa ada yang lucu, Mbak?” dan kamu masih tertawa kea rah jauh.
Telapak tangan aku dekatkan ke muka, mencoba meraba, barangkali ada yang salah dengan wajahku atau ada semacam benda yang menempel. Tidak ada apa-apa di wajahku. Tertawamu membubuhi rasa jengkelku. Tapi kamu orang yang tidak aku kenal, aku tidak dapat berbuat lain kecuali bertanya: ada apa, apa ada yangs alah padaku?
“Tidak, tidak ada yang salah” jawabmu. Tanganmu meraih kertas catatan yang aku pegang dari tadi.
“Lalu kenapa tertawa, Mbak?”
“Lucu aja”
“Lucu?”
“Ya, kamu lucu. Lihat wajahmu yang kebingungan itu,” kamu tertawa lagi, hanya saja kali ini kamu bisa menahannya.
Kamu pun menanyakan namaku, dan sebaliknya. Aku mmengulang pertanyaanmu supaya mendapatkan jawaban yang sama seperti apa yang aku jawab dari pertanyaanmu. Kita pun asyik mercengkrama.
Ya, begitulah awal pertemuan kita. Kamu yang lebih dulu membuat pertemuan denganku. Kamu bilang aku oramng yang unik dan lucu. Kamu membuat taman itu terisi oleh tawa kita. Kamu begitu pandai membawa perasaan. Hari itu menjadi asyik, kejengkelan menunggu telah tersisihkan. Tersisihkan oleh hari yang asyik. Tawa yang lepas.
Cukup lama kita tenggelam dalam keasyikan bercengkrama dengan orang yang baru saja kita kenal. Di sela-sela reda tawa, aku teringat kembali kepada kopi di depanku yang mulanya panas tel;ah menjadi dingin dan sudah hampir habis. Kursi dan meja dihadapanku juga sudah merasa bosan. Mereka juga resah menunggu untuk diduduki pantatmu.
Aku menjadi sangat bosan. Tanganku meraih cangkir kopi dan mulutku mulai meneguknya. Kopi itu sudah terasa tidak enak lagi, dingin. Satu tegukan lagi kopi itu akan habis dan berarti pula masa penungguanku telah usai dan keputusan harus ada, meski sepihak. Kewajibanku untuk menepati janji telah gugur. Tapi, kakiku begitu enggan untuk meninggalkan tempat itu. Sayang sekali kalau hari ini aku sampai tidak bertemu denganmu. Hari ini adalah penentuan; bunga matahari itu akan mati atau terus hidup. Matinya bunga matahari yang kita tanam bersama akan memberi arti matinya mawar merah yang sudah tumbuh semakin besar di sekililingnya. Datanglah, Irma!
Seperti siang pertama kali kita bertemu, semua yang disekeliling mengacuhkan adaku. Bedanya, angin siang ini bertiup agak kencang. Langit kulihat berwarna agak hitam, barang kali dia mendung. Tapi angina yang membawa mendung itu seperti berjalan kea rah barat, terus bergerak. Entah mau dibawa ke mana mendung itu oleh awan. Dalam hatiku juga ada mendung, mendung menunggu. Hanya saja, mendung dalam hatiku tidak bergerak dan sudah menurunkan rintik-rintiknya. Dan mungkin sebentar lagi akan ada hujan dalam hatiku.
Angin bertiup semakin keras. Tangan kananku terasa tertetesi air dari atap tapi atap di mana aku duduk adalah langit. Rupanya hujan akan turun.
Di hatiku sudah hujan, aku tidak betah lagi. Cepat aku teguk kopi terakhir dan pergi. Sial, aku lupa bayar lagi. Terdengar suara penjaga kafe berteriak memanggil, aku menoleh dan kembali ke kafe itu. Setelah membayar uang kopi aku ingin segera pergi tapi hujan di luar sudah bertubi-tubi. Aku duduk lagi dan memesan secangkir kopi. Hujan tak kunjung usai.
Bersama habisnya seduhan kopi yang pertama, bersama air hujan yang terus sambung menyambung turun. Aku mengambil keputusan sepihak. Aku putuskan untuk menghentikan saja proses fotosintesis bungan matahari itu dan bunga mawar yang tumbuh disampingnya akan aku cabut juga. Tapi, kopi yang kedua memberi isyarat, aku harus menanam bunga lain. Ya, bungan lain dan bersama wanita lain juga tentunya.[]Djogjakarta, 2004.
*) cerpen ini masuk dalam 10 nominasi penulisan cerpen lomba cipta cerpen remaja oleh Balai Bahasa Yogyakarta tahun 2004.
Komentar