Langsung ke konten utama

Komunikasi

soal hubungan cinta, bagiku lebih enak dipendam. tak usah diungkapkan. tentu saja ini berlaku jika hubungan sudah terjalin sekian lama. mungkin paling sebentar satu tahun. pasangan kita sudah bisa merasakan apa yang kita rasakan. selebihnya, tinggal menunggu waktu paling tepat perasaan atau keluhan itu akan muncul dengan sendirinya. sebab, apa pun yang ditenggelamkan, apa pun yang dipendam, kelak ia akan muncul ke permukaan.
begitu pula jika salah satu di antara pasangan itu tertimpa masalah. kalau memang harus keluar, maka akan keluar dengan sendirinya. bahwa perasaan atau yang dirasakan membutuhkan waktu tersendiri untuk keluar. ya. seperti sebuah ilham atau ide untuk memulai bekarya.
begitulah komunikasi akan terjalin. namun, tidak semua orang seperti itu. itu karena banyak jalan bisa ditempuh dalam menjalin komunikasi. komunikasi fisik, komunikasi verbal, komunikasi isyarat, dan lain sebagainya. namun, sayangnya, tak semua orang mau memakluminya. sebenarnya bukan persoalan tidak mau memaklumi, tapi lebih pada sifat alamiyah manusia yang selalu merasa kurang. ketika satu jalan komunikasi terbuka dan terjalin, manusia menginginkan komunikasi yang lebih, dan lebih lagi. misalnya pasangan lelaki biasa menggunakan bahasa isyarat atau simbolik, bahasa tubuh, untuk memberitahukan hal-hal yang tidak ia sukai, karena lamanya kebersamaan, pasangan perempuan mulai mengerti. namun ternyata itu tidak cukup, pasangan perempuan masih membutuhkan komunikasi verbal. sementara pasangan lelaki cukup dengan bahasa isyarat atau simbolik serta komunikasi fisik. tentu tidak akan ketemu. seperti sebuah rel kereta api. dengan demikian, kita harus membuat jalan lain. jika kita melewati rel kereta, tentu kita tidak akan mencari putusnya rel itu agar bisa lewat, melainkan dengan cara melompatinya. nah, bagaimana cara melompatinya? saya juga bertanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Teror dalam Tarian Bumi Untuk Bali

Beberapa hal pokok yang masih berhubungan dengan kerangka analisis social dan budaya dengan dikaitkan perubahan yang dimiliki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, menarik untuk dibaca. Perubahan yang dimaksud di sini adalah pola pikir tokoh atau individu yang secara teranng-terangang memberontak pada kebudayaan Bali juga feminisme. Bukan perubahan-perubahan besar, seperti revolusi, perang, maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya. Tarian Bumi adalah Sebuah novel eksotis khas etnik Bali yang penuh dengan suasana dan atmosfer “pemberontakan”, sekaligus situasi ambivalen kaum perempuan dalam menghadapi realitas sosialnya. Tata sosial yang hierarkis lewat pembagian kasta, patriarkhal di mana kaum laki-laki lebih banyak mendapatkan previlese social, merupakan problem-problem fundamental yang dihadapi kaum perempuan di Bali, jika ingin menemukan hubungan yang relatif lebih equal dan lebih emansipatoris. Meski secara terang-terangan terjadi pemberontkan di sana-sini, sebagai novel per