Langsung ke konten utama
Perjamuan yang Lindap



tempelkan lagi pumflet-pumflet kosong di atas bambu

renta, mimpi yang menyangsang pada kail kosong

di pintu laut bergeming ribuan ikan kelaparan

''hari ini tak ada nelayan berkapal''

suatu hari nanti

kucium dadamu dan kuselipkan mawar yang diwariskan

dewa-dewa, lalu segera kemasi deru mesin kapal

dan riuh ombak agar kita bebas berlayar

menempuh jalan camar

jalan bergurat rapi di tepi tebing sorga

tangis itu, kini, di dasar laut.

aku membawanya dari cerita yang dipanggul waktu

dari suratan pemakaman

tanda yang tertulis pada alamat cinta telah sampai

kisah cerita telah membahasakan dirinya sendiri

: di suatu pagi yang tak kukenal mataharinya

di suatu pagi yang menerbitkan tangis itu lagi.

kita ini binatang laut, katamu. aku menerjemahkannya

jadi kerlip kunang-kunang yang berebutan menyala

di padang pasir, lalu kau pergi tanpa membawa nafasmu,

kusimpan di dada kiriku agar a menjadi setia,

menunggu angin

: pemukiman kepak sayap dan jerit malaikat.

aku tak menemukan siapapun untuk pulang

gerit waktu tak mampu menjinakkan gelombang

yang berlari ke gelombang. matanya tertutup gerhana

yang membakar, dan dari segala pintu aku lindap di mimpi

anak nelayan.



di muat di Bali Post, 11 April 2010

Komentar

mikoalonso mengatakan…
keren bro mantap
mikoalonso mengatakan…
keren mantap bro
fairuzul mumtaz mengatakan…
makasih mas bro. puisimu lebih bagus.. hehehe

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban