Luka Duka
— episode kunang-kunang
jika kau telah lupa meletakkan abad yang tercipta dari jejakmu
aku buatkan seribu kunang-kunang dari dongeng ibu:
seekor ular melilit tubuhnya sendiri.
hujan telah menepi saat kau sampai
namun, tak kuijinkan lagi kakimu di sini
seumpama saja kau tak mengirim sunyi di kamarku
lewat kabel-kabel telepon yang kau sambung dari kiamat
aku akan lebih senang mamanggul rumah dipunggungku
: beban abadmu.
tetapi kau lupa,
abad kunang-kunang ini terlewati begitu saja.
sampai batas inikah sumpahku
ludahmu lancar meniup apiku dalam remang bulan di reranting
yang kutemukan mati
di gang sepi waktu malam tak bermimpi.
Djogjakarta, 2007.
Luka Duka
— episode lahar
kau turunkan lahar dari kepalamu
menjejak di antara rumah-rumah beratap isak
inilah ribuan cerita yang menjejal;
tak ada suami, istri, juga anak-anak
yang aku rindukan dari pulau tak pernah bergeming
lalu antara aku yang mengais air mata dari batu-batu
berlumur ledakan darah yang muncrat dari jari-jari
kau sebut luka sederhana
tak berasal
tak beralamat
dan aku tak perlu lagi menyodorkan
hidangan cinta.
Djogjakarta, 2007.
Luka Duka
— episode sajak
aku menjadi kecewa
tak kumaui lagi sajakmu
yang berpidato lewat dosa-dosa dari album kusam
beratkah malam
bila kau mimpi pada setumpuk air di kasurmu
saat kau tak mengenal diri sendiri
dan bersandar pada lelaki yang kau kalungkan
cinta dari kisahmu yang tak berterusterang
malam ini aku tak bermalam di malam manapun
kecuali pada luka di bahuku
yang tertembak oleh matamu di hari-hari yang kucatat namanya.
Djogjakarta, 2007.
Luka Duka
— episode hujan
aku bisa saja membuatmu rindu
pada sekeping tanah yang kuciptakan dari bau hujan
ketika sore membahasakan abu dengan arang
sementara waktu tak bisa kau pendam dalam ruang
di sebuah kenangan
matilah apa yang tak pernah kau sebut mayat,
juga mantan kekasihmu yang terbangun dari pukulan tanganku.
Djogjakarta, 2007.
Luka Duka
— episode cahaya
kesedihan akrab denganku, sekarang.
dari ayat yang tak kutemui tafsirnya
ia muncul di balik rimbun cahaya
dan tuhan mengirimkan bebunga dari sajak yang kekal
senyum yang kerap kau berikan
kini kau kantongkan di negeri bertuah pepatah
aku pun tak sengaja membuangnya di sebuah kota
penuh fantasi
aku pun akan menyimpan segala
yang terusik di dada.
Djogjakarta, 2007.
puisi-puisi di atas telah dimiat di koran mingguan Minggu Pagi, 1 Agustus 2008
Komentar