Langsung ke konten utama

"The Rise of English"



Pembabakan sejarah sastra Inggris:

I. Pra-modern: Sastra sebagai tulisan-tulisan yang dihargai masyarakat-dalam bentuk “imaginative”. Timbal baliknya; mengaktifkan dan menyebarkan nilai-nilai tertentu “kelas”; dengan tujuan ideologis.

II. Romantisme (awal abad ke-19): Reaksi terhadap gerakan social dan perkembangan teknologi pada paruh kedua abad ke-18: kebangkitan ekonomi liberal, industrialisasi, runtuhnya hubungan sosial “tradisional” dan masyarakat “organik”; sastra menjadi oposisi untuk ideologi dominan. Sastra juga melepaskan diri dari tujuan sosial; “seni” menjadi gudang nilai-nilai “abadi” dan kebenaran yang lebih unggul daripada orang-orang histories [semi-sentimen keagamaan sudah terlihat].

III. Victoria (pertengahan 19 - awal abad ke-20): nilai-nilai “abadi” dan kebenaran yang terkandung dalam Sastra menjadi pengganti agama dalam mengindoktrinasi dan bekerja bagi kelas menengah. Masa itu agama hanya dianggap milik Victorian yang kemudian menjadikan agama untuk mengontrol ideology para class social dibawahnya, dengan doktrinasi berupa symbol-simbol, ritual, mitology, dll.

Universalitas mendorong nilai-nilai solidaritas dan berbagi kelas diidentifikasi di badan nasional (berguna untuk indoktrinasi ideologi imperialis); mencegah kesadaran kelas atau fokus pada keadilan material dan sumber-sumber mereka di berbagai ketidakadilan sosial. Inggris dianggap cocok untuk studi akademis dalam hal buruh dan perempuan.

IV. Leavis dan Scrutineers (awal - pertengahan abad ke-20): mengganti pesta koktail aristokrat dengan obrolan tentang “sastra”; mempelajari posisi sastra yang bertentangan dengan hal-hal yang “tidak manusiawi” yang merupakan efek budaya massa modern; studi Inggris tentang perjuangan moral bagi jiwa manusia. Sangat nostalgia dan curiga, bahkan memusuhi, budaya populer (radio, film, jazz, iklan).

V. New Criticism (1950-an): usaha untuk menyuntikkan kekerasan ke studi tentang sastra (puisi khususnya); fokus pada “teks itu sendiri” bercerai dari konteks yang lebih besar (sejarah, sosial, budaya, pribadi) untuk mencari kebenaran “abadi” yang diungkapkan oleh sastra.


Marxisme

- Seni dan sastra merupakan bagian dari banyaknya udara yang dihirup marx, sebagai seorang intelektual Jerman yang terbiasa dengan kebesaran tradisi klasik masyarakatnya. Marx terinsprirasi oleh Laurence Sterne, terikat dengan konsep-konsep dan kiasan-kiasan kesusasteraan. Ia adalah pencandu teater dan pembaca sajak berbakat dan pelahap segala jenis kesusteraan mulai dari prosa-prosa Augustan sampai balada-balada industrial. Marx menulis pada Engels bahwa sastra dan seni merupakan kebebasan bagi ekspresi artistic. Lebih jauh lagi, penekanannya terhadap konsep-konsep estetik dapat dideteksi dari sebagian besar kategori-kategori pemikiran ekonomi yang diterapkan dalam karya-karyanya yang matang.

- Meskipun begitu, Marx dan Engles memiliki tugas yang penting daripada hanya memformulasikan satu teori estetika lengkap. Kritik Marxis melibatkan lebih dari sekedar menyatakan ulang permasalahan-permasalahn yang telah disiapkan pencetus Marxisme. Juga tidak hanya melingkupi sosiologi sastra. Bagi Marx, seni merupakan bagian dari “superstruktur” (ideology dan politik) bertitik tolak dari infrastruktur material (ekonomi). Seni sebagai salah stau elemen dalam struktur persepsi social yang amat rumit yang meyakinkan bahwa situasi di mana satu kelas social memiliki kekuasaan terhadap kelas lainnya juga dilihat oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai sesuatu yang “alamiah” atau tidak terlihat sama sekali. Memahami sastra berarti pemahaman terhadap seluruh proses social di mana sastra merupakan bagiannya.

- Pandangan kritikus Marxis Rusia, Georgy Plekhanov: mentalitas social suatu jaman dikondisikan oleh hubungan-hubungan social pada masa itu. Sekarang hal ini cukup sebagai bukti dalam sejarahseni dan kesusasteraan. Karya-karya sastra bukanlah sesuatu yang terinspirasi secara misterius, atau sederhananya dipandang dalam istilah psikologi pengarangnya. Karya-karya tersebut adalah bentuk-bentuk persepsi, cara khusus dalam memandang dunia; dan juga memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas atau ideology social suatu zaman. Sebaliknya, ideology tersebut adalah produk dari hubungan social yang konkrit yang ke dalamnya manusia memasuki ruang dan waktu tertentu; ideology adalah cara hubungan-hubungan kelas tersebut dialami, dilegitimiasi sadan diabaikan. Terlebih lagi menusia tidak bebas memilih hubungan sosial mereka, mereka dipaksa memasuki hubungan sosial itu oleh keharusan material—oleh sifat dan tingkat perkembangan model produksi ekonomi mereka.

- kritik marxis secara mekanisnya tidak bisa diartikan secara sempit beranjak dari “teks” ke “ideology” ke “ relasi-relasi social” dan ke “kekuatan produksi”. Namun, kritik Marxis cenderung terpaku pada kesatuan tingkatan-tingkatan masyarakat borjuis. Sastra dapat menjadi bagian tingkatan, namun sastra tidak benar-benar merupakan refleksi pasif dari baisi ekonomi.

- Sebagai teoretisi Marxis terkemuka di Inggris, Terry Eagleton melihat teks sastra sebagai jenis khusus produksi di mana wacana ideologis—digambarkan sebagai sistem yang merupakan representasi mental pengalaman hidup—menjadi wacana sastra secara khusus. Kritik Marxis Eagleton berusaha untuk mengekspos ideologis teks motivasi dan untuk menerapkan kritik sastra ke arah politik yang diinginkan.

- Sebuah metode analisa sastra yang didasarkan pada tulisan-tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels. Tidak hanya melihat teks sebagai produk dari kesadaran individu, kritikus Marxis menganggap sebuah karya sebagai produk dari sebuah ideologi khusus untuk periode sejarah tertentu. Seperti pada gambaran dasar dari tindakan sosial dan lembaga-lembaga dan pada representasi perjuangan kelas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban