Langsung ke konten utama

Rekonstruksi Islam di Amerika

tulisan ini merupakan hasil pembacaan teerhadap film "My Name is Khan". ditulis dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah poskolonial yang diampu oleh Dr. Budiawan, pada Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


Pendahuluan
Film bukan semata-mata soal industri, tetapi ia juga merepresentasikan identitas dan karakter sebuah bangsa. Artikel-artikel di blog India yang berhubungan dengan film My Name Is Khan (selanjutnya disingkat Manisan) ini menunjukkan suatu fakta yang menarik, tanggapan terhadap film ini lebih membicarakan tentang politik kebudayaan di India daripada nilai keindahan film itu sendiri.
Film ini tidak selayaknya film produksi India pada umumnya, yang cenderung lebih mengedepankan tarian dan nyanyian tradisional ketimbang ideologi-ideologi yang diusung dalam film. Beberapa film produksi India yang dapat disebut keluar dari jalur umumnya film India antara lain Slumdog Millionari, 3 Idiot, dan Manisan. Setidaknya, tiga film inilah yang tercatat dalam benak penggemar film belakangan ini.
Dari ketiga film tersebut, di India, hanya film Manisan yang bermasalah sejak hari pertama pemutaran di Mumbai karena ditentang oleh Shiv Sena fundamentalis Hindutva. Bahkan, pemerintahan Maharashtra telah memerintahkan pengaturan keamanan ketat dan anggota Shiv Sena sebanyak 2000 telah ditangkap karena mencoba mengganggu pemutaran film.
Vijay Prakash Singh dari New Delhi menyatakan pendapatnya. setelah menonton film ini sebenarnya ini film yang biasa, namun menjadi populer karena situasi yang penuh dengan kontroversi ketika film ini rilis. Ia mengatakan bahwa Shah Rukh Khan terpengaruh oleh cara berpikir Barat dan karena ia pernah mengalami masalah yang menarik perhatian penonton Barat. Menurut Singh, film ini dengan jelas mencoba mencari sensasi dan menggunakan tiap elemen (masalah) agar laku. Disamping itu, keuntungan lainnya adalah partai di India yang saling bertolak belakang seperti Shiv Sena, yang membuat masalah dengan isu yang tidak penting dan menyediakan popularitas tambahan pada film yang sebenarnya tak perlu. Lebih lanjut lagi, Khan juga didukung oleh partai yang berkuasa, yang langsung mengirimkan satuan polisi untuk menangkap para pembuat onar. Singh berpendapat, satuan polisi yang sama ini tidak muncul untuk membantu ketika warga India Utara dibunuh oleh Shiv Sena yang sama.
Dalam konteks yang sama, BBC India membuka diskusi tentang hal ini dengan menanyakan pada masyarakat umum apakah mereka mendukung gagasan bahwa warga India harus lebih ramah terhadap Pakistan atau membenarkan perilaku Shiv Sena. Dari banyak tanggapan, Jamshed Akhtar dari Lucknow mengatakan Pakistan selalu menipu India tapi perilaku Shah Rukh sudah benar karena seorang pemain yang baik harus didukung tidak pandang nasionalitasnya. Rajiv dari Allahabad mengatakan meskipun pemain dan aktor Muslim mengenal Hindu, beberapa di antara mereka merasa menjadi korban untuk menambah popularitas.
Nitish Raj di artikel blog menulis sebelum film dirilis dan mengatakan ia bahwa Shiv Sena mengambil celah ini untuk menonjolkan diri karena popularitasnya sudah menurun. Berbeda dengan lawan mereka yang memang posisinya sudah semakin kuat.
Juga penting untuk disebutkan di sini adalah artikel Tarun Vijay yang menekankan penderitaan warga Hindu Kashmiri yang hidup menderita sebagai pengungsi di negara mereka sendiri dan tidak bisa mengemukakan tentang nasib mereka sebagai korban karena dihalangi oleh partisan politik yang sekarang berkuasa. Ini adalah gambaran dimensi berbeda tentang suatu komunitas di India.
Di AS, film Manisan diterima dengan baik karena menggambarkan skenario di Barat setelah peristiwa tragis 11 September dan suatu upaya menunjukkan bagaimana warga Amerika memandang umat Muslim di AS. Khan merasakan pengalaman serupa ketika berada di Bandara Newark ketika ia ditahan untuk interogasi oleh petugas bandara. Kejadian ini memicu kemarahan di India dan akhirnya, Duta Besar India di New Delhi mengeluarkan pernyataan untuk memberitahu bahwa kejadian ini akan diselidiki. Film ini mengisahkan kejadian serupa tentang seorang Muslim yang autis di AS, yang dilecehkan oleh polisi setelah kejadian 11 September. Sentuhan otobiografi ditambahkan ke dalam film, karakter Khan diceritakan mencintai seorang wanita Hindu. Sudah diketahui secara umum bahwa istri Shah Rukh Khan dalam kehidupan nyata adalah seorang Hindu.

Sekilas Tentang Film My Name is Khan
Tentang perjuangan seorang muslim yang berjuang untuk menyatakan bahwa ‘Islam bukanlah agama teroris dan membayakan’. Cerita film ini dimulai ketika Rizwan Khan, seorang pemuda muslim India yang sakit Asperger syndrome, yaitu penyakit yang membuatnya sulit berinteraksi dengan orang kebanyakan, pindah ke Amerika, tepatnya di San Francisco dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ia pun bertemu dengan wanita Hindu asal India di San Francisco, yaitu Kajol yang berperan sebagai Mandira.
Hubungan mereka pun kemudian berlanjut. Walaupun mendapat pertentangan dari keluarga mereka, tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan hidup sendiri untuk memulai sebuah bisnis. Ketika bisnis mulai membaik, terjadilah peristiwa 11 September yang kemudian menghancurkan impian mereka. Alur cerita pun bergulir dengan tidak kuatnya Mandira untuk menanggung beban karena keluarga mereka disebut sebagai teroris. Alhasil, pernikahan mereka pun berantakan,meski akhirnya bersatu kembali.
Secara garis besar, jika dikaitkan dengan teori poskolonial, film Manisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: tidak seperti film Bollywood biasanya yang romance dan komedi tanpa diimbangi pesan moral yang kuat. Juga tidak seperti film Hollywood lainnya yang biasanya menjadikan Barat sebagai hero. Berdurasi 2 jam 26 menit. Ada sekitar 30 menit lebih yang dapat dijadikan kajian poskolonial. Ada dua tema besar dan cukup sensitif, yaitu (1) konflik Islam dan Barat, dan (2) pernikahan beda agama; Hindu dan Islam. Tema pertama menjadi tema dominan.
Manisan memakai lokasi syutingnya di tiga Negara; USA, Kanada dan India. Film ini syarat akan pesan perdamaian dan dakwah islamiyah serta mengangkat perjuangan seorang muslim yang mengharumkan nama baik Islam di pusat negara yang penduduknya mayoritas membenci Islam, tentunya demi menggapai misi besar film ini.
Tragedi 11 September menjadi awal mula koflik besal dalam film Khan. Di negeri Paman Sam, Khan membina keluarganya dengan penuh kebahagiaan dan menjalin hubungan baik dengan tetangga secara harmonis. Namun, keadaan itu berbalik seratus delapan puluh derajat, setelah aksi terorisme yang berhasil meruntuhkan gedung kembar Word Trade Center, 11 september 2001 itu.
Dalam beberapa opini, psikologi tokoh utama dalam Manisan ini dikait-kaitkan dengan film Forrest Gump. Namun tidak lebih dari unsur psikologinya saja. Dari segi teror dan konflik antara Islam dan Barat, beberapa film dapat disebutkan; The Siege, Rules of Engagement, Babel, Five Finger, dan lain sebagainya.

Islam di Amerika; Sebuah Pandangan dalam Film My Name Is Khan
Secara garis besar film ini sangat kental dengan pesan-pesan pluralisme agama. Dalam adegan saat Khan kecil dinasehati oleh ibunya, bunyi nasehat tersebut, “Remember one thing, in this world there are only two kind of people. people who does good things, and bad who does bad things, that's the only difference between human.nothing else”. Dari kalimat yang diucapkan oleh ibunya Khan, dapat diambil kesimpulan bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis manusia, yaitu manusia baik yang akan melakukan kebaikan dan manusia buruk yang akan melakukan keburukan. Tidak peduli apapun agamanya.
Selain itu ada upaya penyamaan agama dalam film ini, Hal ini akan tampak dalam penggalan dialog antara Khan dan ibunya berikut ini. “Tell me who is hindu and muslim among them?” tanya ibunya. “They both look same..” jawab Khan kecil.
Ungkapan di atas adalah ungkapan yang menyamakan antara agama islam dan agama hindu. Seolah-olah “no difference betwen moslem and hinduism”. Dalam hal penyamaan agama, “moyangnya” orang india yaitu Mahatma Gandhi pernah mengatakan, “Setelah mempelajari lama dan saksama serta melalui pengalaman, saya sampai pada kesimpulan: 1. semua agama itu benar 2. semua agama memiliki beberapa kesalahan di dalamnya 3. semua agama itu bagi saya sama berharganya sebagaimana agama saya sendiri, Hindu”. Menurut Gandhi, agama adalah ibarat jalan yang berbeda-beda, namun menuju titik yang sama.
Menurut fatwa MUI pluralisme didefinisikan sebagai suatu faham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah
Dalam memandang masalah ini, Said (2002) mencoba mengklasifikasikannya dalam tiga kata, “Islam”, “Barat” dan “Kristen”. Ketiga kata tersebut setidaknya memiliki dua fungsi makna pada setiap pemakainnya, yaitu pertama, fungsi sederhananya adalah mengindentifikasi. Kedua, fungsi kedua adalah untuk menghasilkan makna yang jauh lebih kompleks. Bicara “Islam” di Barat dewasa ini juga berarti bicara tentang begitu banyak hal yang tidak menyenangkan, seperti halnya penyebutan teroris terhadap Islam.
Inti dari film ini adalah “My name is Khan. And I’m not a terrorist”. Kalimat ini yang menjadi inti pencapaian dan penyampaian pada film Manisan tersebut. Selama ini, kebanyakan masyarakat Barat menganggap Islam selalu identik dengan teroris, terlebih pasca 9/11. Bahkan, berbagai peristiwa sebelumnya seperti yang terjadi di Theheran pada 4 November 1979. Hal ini sangat terlihat pada adegan awal film ini, ketika Khan antri di Bandara. Tangannya memegang tiga batu yang berfungsi sebagai tasbih dan mulutnya mengucapkan dzikir. Beberapa orang Amerika di sekelilingnya merasa terganggu lantas ia pun dipanggil petugas bandara untuk diintrogasi. Dengan keluguannya, Khan menjawab setiap pertanyaan petugas bandara. Khan sendiri dari kecil tidak pernah diajari untuk membeda-bedakan agama. Ia hanya diajari oleh ibunya tentang dua hakikat manusia.
Kalimat di atas adalah kalimat yang dilontarkan Khan saat hendak menemui Presiden Amerika Serikat, kalimat yang diucapkan Khan sambil mengangkat tangan di antara ribuan massa penyambut presiden, yang kemudian tertangkap kamera dan disiarkan televisi ke seantero dunia. Sebuah kalimat yang mengantarkan Khan ke penjara khusus para teroris dan Khan disiksa habis-habisan di sini, sebelum kemudian dia dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, bahkan Khanlah yang menelepon biro penyelidik federal (FBI) atas adanya rencana teror yang dilihatnya!
Adegan ini mengajarkan pula kepada para jurnalis televisi bagaimana membuat dan menciptakan sebuah berita (baca cerita) menawan dan penting dari “seseorang” yang tak penting seperti Khan. Benar, kedatangan presiden Amerika di sebuah wilayah akan menjadi berita dan semua stasiun televisi akan memberitakannya secara seragam. Jurnalis yang baik, ulet, pantang menyerah dan memiliki kemampuan mengendus nose for news, bisa membuat gempar Amerika dan seluruh dunia hanya dengan mengolah gambar dan ucapan Khan, “My name is Khan, and I’m not a terrorist!”
Selain mengatakan bahwa Khan (baca Islam) bukan teroris, Manisan juga tidak membenarkan adanya teroris itu sendiri dalam tubuh Islam. Hal ini seperti terlihat pada adegan ketika Khan akan sholat di sebuah masjid. Namun, niatnya tersebut menjadi urung karena mendengar ada seseorang yang khotbah di depan sekelompok orang yang dengan bahasa kasar memaki-maki orang-orang non-Islam dan merencanakan kegiatan teror (kekerasan) dengan merujuk pada ayat-ayat Alqur’an dan membuat tafsri untuk kepentingannya sendiri. Orang yang berkhotbah tersebut menghalalkan perbuatan teror. Khan tidak sepakat.Kemudian dengan kemarahan, Khan melemparinya dengan batu yang biasa ia bawa sebagai tasbih sembari berkata “syaitan… sayaitan… syaitan”.
Hal ini dapat ditarik benang merahnya dengan peristiwa yang menimpa Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ketika itu Syekh Abdul Qadir Jaelani sedang berdzikir sendirian, tiba-tiba muncul cahaya terang dan mengatakan “aku halalkan kepadamu apa yang diharamkan Alqur’an.” Syekh Abdul Qadir Jaelani kemudian melempari cahaya itu dengan batu, yang kemudian diketahui bahwa cahaya tersebut merupakan jelmaan syaitan.
Peristiwa melempar batu ini juga bisa kaitkan dengan salah satu rukun haji yang mewajibkan jamaah haji melempar jumroh. Melempar jumroh merupakan salah satu kegiatan Nabi Ibrahim pada ketika melempar syaitan. Melempar jumroh berarti melempar batu sebanyak tiga kali. Hal ini bisa dikaitkan dalam film tersebut karena orang yang berkhotbah di masjid tersebut memberikan perumpamaan ketika Nabi Ibrahim menyerahkan satu-satunya anak yang dicintainya untuk disembelih, yaitu Ismail. Orang yang khotbah tersebut lalu menafsir kisah itu sebagai jihad dan keikhlasan melepas semua yang disayangi. Ia meminta jamaah untuk bersamanya di jalan jihad.
Peristiwa yang semacam ini kemudian banyak mengakibatkan pandangan Barat yang miring terhadap Islam. Menurut Dam (2009), banyak orang Barat belum pernah menapakkan kaki di negeri Arab atau dunia Islam, tetapi mereka mendapat kesan tentang Islam dan Muslim melalui media masa saja, atau melalui hubungan langsung dengan berbagai macam kelompok pendatang Muslim yang tinggal di negeri mereka. Sebagai contoh kelompok pendatang Muslim Maroko di Belanda, pendatang Muslim Aljazair di Perancis, pendatang Muslim Pakistan dan India di Inggris, dan pendatang Muslim Turki di Jerman. Atau mereka mendapatkan pengetahuan tentang Islam melalui kejadian-kejadian ekstrem seperti serangan teroris tanggal 11 September di Amerika Serikat, atau kejadian-kejadian di tempat lain. Pengalaman dan kesan dari kejadian-kejadian tersebut sering mengarah pada negatif dibanding positif. Dan sering kali bukanlah Islam yang dipahami, tetapi lebih pada perilaku Muslim yang dibiaskan sebagai gambaran Islam karena mereka bertindak “atas nama Islam” tetapi sesungguhnya mereka sama sekali tidak mewakili mayoritas Muslim.
Secara politik, pandangan Barat (Amerika) terhadap Islam adalah sebagai tantangan. Bahkan Said (2002) menuliskan bahwa Islam telah memunculkan sebentuk iblis asing musuh utama Amerika karena adanya kelompok-kelompok di belakang Islam, seperti Hizbullah di Lebanon Selatan. Robin Wright (via Said, 2002) mengatakan bahwa seorang pejabat senior di Pemerintahan Bush mengakui bahwa “kita harus lebih cerdik dalam menghadapi Islam disbanding ketika menghadapi komunisme 30 atau 40 tahun yang lalu.”
Pandangan yang semacam ini turut mewarnai film Manisan. Sebagai salah satu contoh—di luar Khan—adalah kematian Sam, anak Mandira, istri Khan. Sam merupakan korban dari pandangan miring tersebut karena nama Khan turut hadir dibelakang nama Sam, yang kemudian mengindikasikan bahwa Sam adalah Muslim, meski Sam sebenarnya bukan Muslim. Pada adegan lain, seorang penjual barang-barang elektronik di Amerika menjadi bahan ejekan orang-orang Amerika karena memakai peci yang menandakan dirinya Muslim.
Selain konflik Islam dan Barat, film produksi India ini ternyata tidka dapat sepenuhnya lepas dari tradisinya. Meski secara garis besar ia keluar jadi jalur umum film produksi India, namun kekhasan identitas India tetap kental di dalamnya. Hal ini ditunjukkan dalam ilustrasi musik yang selalu mengiringi tiap adegan dengan musik tradisional India, yang memang membuat kesan sedih dan sangat menyayat melebihi sayatan nada-nada yang dihasilkan biola, milik Eropa. Terlebih jika diiringi dengan suara nyanyian perempuan hanya dengan satu suku kata sederhana “ha” tetapi memiliki banyak variasi.
Film ini juga berhasil menjembatani setiap perbedaan yang berakhir pada kesimpulan: cintalah yang menyatukan umat manusia. Bahkan, di sini terlihat kehebatan sang sutradara yang mampu mensetarakan kebudayaan India dengan Amerika. Ini bisa disaksikan ketika penduduk Amerika mengenakan baju sari ala India dan larut dalam tari-tarian India saat perayaan ulang tahun Sam. “Efek Khan” mampu mendominasi ruang-ruang publik yang kelihatannya elitis ketika ia dimunculkan di media massa. “Efek Khan” diposisikan menginspirasi Amerika dan juga berani meng-endorse sejumlah tokoh penting Amerika termasuk presiden terpilih Barack Obama dengan tagline “hope”-nya. Artinya, kultur India tidak menjadi subordinat karena dikemas secara elegan.
Khan menunjukkan cinta yang bergema di sanubari bangsa Amerika. Ia menunjukkan daya tahan di tengah tudingan penuh prasangka. Ia tak sedikitpun menaruh dendam, dan dengan cinta yang berkobar-kobar, ia memberi makna bagi sesamanya. Di saat mendengar musibah di Georgia, ia lalu menginspirasi banyak orang untuk membantu. Kalimatnya “I’m not a terrorist” menjadi kalimat ampuh yang diucapkan semua orang Muslim sebagai sindiran sekaligus pembelaan atas prasangka.
Ending film ini—sebagaimana bisa diduga—adalah pertemuannya dengan Presiden Barrack Obama (diperankan Christopher B Duncan), yang kemudian berbisik bahwa ia mengenal Khan. “Your name is Khan and your are not a terrorist.” Pada titik ini, Khan sudah mencapai apa yang dicarinya dalam perjalanan jauh tersebut. Ia menggapai mimpi, sekaligus menyampaikan teriakan yang bergema ke mana-mana bahwa dirinya hanyalah seorang biasa. Bukan teroris.

Simpulan
Ada empat kritik yang ingin disampikan dalam film Manisan tersebut, yaitu 1) Pandangan Barat terhadap Islam, yang selalu memperlihatkan perlakuan diskriminasi, marjinalisasi dan intimidasi penduduk Amerika terhadap Muslim, khusunya Muslim pendatang di Amerika dan terutama pasca 11 September 2001. 2) Kaum Hindu India yang tidak bisa akur dengan Muslim di India. Terlihat adegan ketika Khan masih di India dan ia merasakan diskriminasi yang dirasakannya sebagai Muslim jauh lebih berat di Negara sendiri ketimbang di Negara orang lain. Ambivalensi semacam ini juga terjadi pada Edward Said. 3) Kritik terhadap Muslim fundamentalis yang ditunjukkan pada adegan di masjid seperti yang sudah dibahas di atas. 4) Minimnya solidaritas warga Amerika. Hal ini bisa dilihat ketika terjadi bencana di Georgia. Khanlah yang datang terlebih dahulu sebelum warga Amerika.




Daftar Pustaka

Dam, Nikolaos van. 2009. Islam dalam Pandangan Barat. Jakarta. Artikel dari ceramah yang disampaikan di Bimasena (Masyarakat Tambang dan Energi) di Jakarta pada tanggal 8 Oktober 2009.

Said, Edward. 2002. Covering Islam. Yogyakarta: Jendela.

Verma, Archana. 2010. My Name is Khan - Cultural Politics in India. Dalam http://globalvoicesonline.org/2010/02/17/my-name-is-khan-cultural-politics-in-india/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban