Langsung ke konten utama

Bollywood Menuju Hollywood

Sehabis menonton tiga film produksi India tidak dalam satu waktu, kecenderungan film produksi Negara Mahabarata ini mulai nampak jelas. Tiga film tersebut adalah Want To be Millioneri, My Name Is Khan, dan 3 Idiot. Dua film terakhir diproduksi hampir bersamaan. Ketiga film tersebut sekaligus menembus industri film Amerika, Hollywood.

Hal ini tentu membanggakan, entah bagi siapa, yang jelas ini merupakan prestasi bagi film produksi India. Setelah kesuksesan Want To Be Millioner, India seolah-seolah meraih piala kemenangan yang kemudian disusul dengan piala-piala yang lain. Terbukti, dua film lainnya kemudian muncul dengan cukup membanggakan.

Seperti yang sudah selama ini kita saksikan, film-film produksi India, bollywood, memiliki kecenderung yang sama; alur dan tema. Film produksi bollywood biasa bercerita tentang kisah cinta kemudian dihalangi oleh relasi kuasa yang tidak imbang, baik dari orangtua, harta ataupun relasi kuasa lainnya. Selain itu kemudian akan muncul orang ketiga yang akan mengahalangi kisah cinta si tokoh utama. Si tokoh utama, mulanya diolok-olok dan menjadi bahan bulan-bulanan. Namun, akhirnya si tokoh utama mendapatkan keberuntungan dengan perubahan nasibnya yang membaik dan akhirnya dapat meraih cintanya.

Paling tidak, itulah gambaran sederhana dari film produksi bollywood. Bagaimana jika boollywood menggarap sebuah film dengan tema-tema atau ide-ide di luar kebiasaan mereka tanpa meninggalkan tradisinya? Jawabanya adalah tiga film yang sudah disebutkan di atas. Dengan berani kemudian mereka menggarap tema-tema yang tidak biasa di Negara mereka dan mencoba mencari peruntungan dengan hal tersebut. Ternyata tidak sia-sia, film produksi mereka disambut dunia dan masuk dalam produksi film Amerika, Hollywood.

Namun, dibalik penggarapan tema yang di luar kecenderungan bollywood, di Hollywood mereka kembali membuat kecenderungan yang sama. Kecenderungan tersebut terletak pada; pertama , melo. Ketiga film tersebut seolah-olah menginginkan penonton menangis dengan segala macam perjuangan si tokoh utama yang sangat mengenaskan sehingga dapat meraih kesuksesannya. Kedua, alur. Alur dari ketiga film tersebut bisa dikatakan sama. Alur maju dengan improvisasi flashback. Alur disusun maju dan disela dengan memori-memori sang tokoh. Alur semacam ini biasa disebut alur maju-mundur. Ketiga, cinta. Dari kisah-kisah heroik yang ada dalam ketiga film tersebut kisah menjadi hal utama yang disajikan. Seolah-olah cinta menjadi alat perjuangan utama dalam mencapai segala kesuksesan.

Kecenderungan-kecenderungan di atas dibungkus dengan baik hingga penonton hanya hanyut dalam alur dan kisah dituturkan. Tidak jenuhnya penonton terhadap film-film India yang hadir belakang ini dapat dikatakan sukses dalam pengemasan tema-tema yang berpotensi menjenuhkan ini. Bahkan, penulis mendapatkan komentar-komentar pendek dari penonton ketiga film ini bahwa mereka merindukan film-film semacam ini. Mungkin karena film-film ini, film yang menembus Hollywood tidak mengangkat barat sebagai hero sebagaimana film-film Hollywood lainnya.[]Djogjakarta, 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Teror dalam Tarian Bumi Untuk Bali

Beberapa hal pokok yang masih berhubungan dengan kerangka analisis social dan budaya dengan dikaitkan perubahan yang dimiliki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, menarik untuk dibaca. Perubahan yang dimaksud di sini adalah pola pikir tokoh atau individu yang secara teranng-terangang memberontak pada kebudayaan Bali juga feminisme. Bukan perubahan-perubahan besar, seperti revolusi, perang, maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya. Tarian Bumi adalah Sebuah novel eksotis khas etnik Bali yang penuh dengan suasana dan atmosfer “pemberontakan”, sekaligus situasi ambivalen kaum perempuan dalam menghadapi realitas sosialnya. Tata sosial yang hierarkis lewat pembagian kasta, patriarkhal di mana kaum laki-laki lebih banyak mendapatkan previlese social, merupakan problem-problem fundamental yang dihadapi kaum perempuan di Bali, jika ingin menemukan hubungan yang relatif lebih equal dan lebih emansipatoris. Meski secara terang-terangan terjadi pemberontkan di sana-sini, sebagai novel per