Langsung ke konten utama

Hilangnya Kesadaran Memahami Kearifan Lokal

Pada mulanya, berkembangnya sebuah kebudayaan suatu masyarakat dinilai dari kesadaran dan kemampuan membacanya, membaca apa saja baik yang tersurat maupun yang tersirat. Kecermatan dalam membaca inilah yang membuat manusia mampu menciptakan hal-hal yang dapat digunakan untuk memperediksi masa depan. Dengan bacaan yang luas, masa depan terasa begitu dekat dan bukanlah suatu hal yang muskil dipetakan. Problem selanjutnya adalah pewarisan.

Manusia dan kebudayaan bagaikan dua mata sisi uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Tak ada manusia tanpa budaya dan tak ada budaya tanpa manusia. Akan tetapi keduanya bukan merupakan bentuk yang sama, melainkan dua hal yang saling mendukung dan mempengaruhi sehingga seringkali muncul pertanyaan; manusia atau budaya yang mempengaruhi? Kejelasan tentang konsepsi manusia akan memperjelas pula konsepsi tentang sebuah kebudayaan yang terdapat pada sekelompok manusia tersebut. Jika demikian, maka manusialah yang membentuk budaya.
Ernst Cassirer (via Ahimsa-Putra, 2004) mendefinisikan manusia sebagai animal simbolic (1945). Menurut ciri-ciri dan bentuk fisiknya, manusia memiliki kemiripan dengan binatang-binatang dari keluarga “kera”. Di lain pihak, manusia tidaklah sama dengan binatang manapun. Dia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh binatang-binatang lain, yaitu kemampuan manusia dalam menggunakan simbol—yang merupakan rangkaian dari tanda-tanda—, menciptakan, dan mengembangkan untuk kemudian diterjemahkan menjadi sebuah pesan komunikasi. Sedangkan pesan dalam sebuah simbol tidak dengan sendirinya menempel, melekat atau ada dalam dirinya, melainkan ia memerlukan sebuah tafsir atau pemaknaan yang berasal dari luar dirinya, yaitu manusia.
Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai sistem perakitan simbol yang diperoleh manusia dari tindak prilakunya sebagai warga masyarakat yang berfungsi untuk menjaga eksistensinya sebagai makhluk hidup. Istilah “sistem perakitan” yang digunakan menunjukkan bahwa kebudayaan bukanlah satu hal yang dapat berdiri sendiri, melainkan banyak unsur yang mendukungnya sebagaimana Koentjoroningrat membaginya menjadi tujuh unsur. Akan tetapi “sistem perakitan” disini bukanlah hubungan antar unsur yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat, melainkan hubungan di luarnya. Hubungan tersebut seperti halnya hubungan antar kabel-kabel yang menguhubungkan setiap komponen hardware dalam sebuah komputer yang disambungkan dengan kabel-kabel yang menjadi penghantar aliran listriknya sehingga memunculkan sebuah kehidupan. Kabel-kabel (kabel data, kabel power, kabel usb) inilah yang dimaksud sistem perakitan.
Sistem perakit simbol memiliki tiga wujud (Koentjaraningrat: 1970), perakit meterial (material culture), budaya prilaku (behavioral culture), budaya gagasan (ideational culture). Budaya material adalah simbol-simbol yang berwujud fisik, material dan bendawi, seperti gamelan, alat-alat musik, wayang, dll. Kehidupan manusia beserta prilakunya juga merupakan simbol budaya, seperti interaksi manusia yang oleh Blumer (1969) disebut sebagai interaksi simbolik. Kapitalisme, liberalisme, komunisme, dan isme-isme yang lain merupakan simbol budaya yang berwujud gagasan, ideologi. Dalam kondisis tertentu, gagasan-gagasan tersebut akan disukai karena dimaknai sebagai sesuatu yang baik, yang dapat mendatangkan keuntungan. Di situasi yang lain akan dibenci karena dimaknai sebagai sebaliknya.

Dua Pola Budaya; Akar Budaya yang Terlupakan
Pada zaman kerajaan, nusantara dikuasai oleh Kerajaan Mataram, kebudayaan yang berkembang adalah feodalistik (kraton), kebudayaan egaliter dan demokratis (kebudayaan rakyat). Namun, setelah munculnya gagasan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) di mana kita dihadapkan pada situasi politik yang terbangun, kebudayaan kemudian berkembang menjadi dua pola budaya, yaitu budaya lokal dan budaya nasional. Budaya lokal adalah simbol-simbol yang terbangun dalam suatu daerah atau suku tertentu dan memiliki kehidupan hanya pada daerah tersebut saja. Sedangkan budaya nasional adalah budaya yang dihasilkan oleh orang atau bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda 28 Okteber 1928 misalnya, sampai saat ini kita masih memperingatinya sebagai bulan bahasa yang merupakan peringatan dalam lingkup nasional karena sumpah tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa “kami putra-putri Indonesia”.
Uraian di atas menunjukkan bahwa budaya nasional dibentuk oleh budaya lokal. Kita mestinya mengingat peninggalan-peninggalan nenek moyang pada zaman dahulu yang turut membangun bangsa ini sehingga kita masih dapat menikmatinya hingga saat ini, bukannya malah malupakan karena budaya baru yang masuk lebih menarik untuk diikuti. Hal ini mengimplikasikan bahwa manusia semacam ini adalah manusia yang diperbudak oleh budaya, bukan manusia yang membentuk budaya. Peninggalan-peninggalan itu seharusnya disikapi sebagai kearifan lokal yang kemudian akan membentuk budaya yang bernilai tinggi bagi bangsa Indonesia dan bukan semata-mata mengikuti perkembangan dunia barat yang semakin mengancam kehidupan budaya lokal di Indonesia.
Salah satu contoh budaya nasional yang mengakar pada budaya lokal adalah gotong royong yang pernah digencarkan pada masa orde baru. Kemunculan gotong royong berawal dari adanya selamatan (dalam budaya Jawa) yang diadakan sebagai upacara di dalam maupun di luar keraton. Selamatan adalah forum egaliter. Dalam selamatan, semua orang yang hadir memiliki kedudukan yang sama, duduk di atas lantai. Hanya seorang saja yang dianggap berbeda, yaitu seorang kyai yang memimpin upacara dan mendoakan. Banyak motivasi kenapa orang mengadakan selamatan. Misalnya untuk pernikahan, khiatanan, atau hanya untuk sedekah.
Jika selamatan diadakan hanya untuk sedekah, maka suasana yang tercipat bukan lagi egaliter dan partisipatif, melainkan juga merupakan manifestasi keadilan. Setiap orang berkewajiban datang dan membawa makanan semampunya untuk kemudian dimakan bersama setelah doa dibacakan. Forum ini biasanya dimanfaat oleh perangkat desa untuk membahas masalah desa atau kerukunan warga yang dalam bahasa keseharian biasa disebut dengan rembug desa. Dari forum ini akan muncul toleransi dan kekerabatan yang erat antar warga.
Gotong royong menurut Soenarto (2004) merupakan mekanisme kerja dan kehidupan untuk saling menolong antar warga, atau merupakan partisipasi antar warga dalam menyelesaikan masalah bersama. Dalam sistem ini setiap warga akan memberikan kontribusinya sesuai dengan kemampuan masing-masing karena bukan merupakan suatu beban atau kewajiban, melainkan kesadaran untuk saling membantu.
Sifat egaliter dan terwujudnya kehidupan rotong royong yang sudah mentradisi tersebut dapat terbangun karena adanya kesanggupan setiap individu untuk mengintegrasikan kepentingan pribadi ke dalam kepentingan bersama (kolektif) sebagaimana tercermin dalam ungkapan sak iyeg sake eka praya, serta kemampuan seseorang untuk menepis hal-hal yang bersifat subyektif guna beradaptasi dengan pihak lain (masyarakat). Setiap orang akan menghindari terjadinya konflik dengan masyarakat, namun tidak berarti meniadakan sama sekali kepentingan pribadi atau subyektif. Hal ini terlihat dalam ungkapan Jawa bener ning ora pener, ajur ajer, negli neng keli. Bahkan pedagang pun, dengan ungkapan tuna sathak bathi sanak, akan lebih mementingkan hubungan kekerabatan (relationship) daripada keuntungan finansial.
Rupanya format di atas dapat ditemukan ketika founding father akan menetapkan sistem kenegaraan setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Di sana sangat terlihat efek dari gotong royong, yaitu rembug desa yang menjadi sumber inspirasi dalam melaksanakan musyawarah untuk mufakat dan membentuk MPR (UUD 1945 asli), serta demokrasi terpimpin. Sayangnya fungsi lurah sebagai perangkat desa yang bijak telah berubah ketika tahun 1978 lurah diangkat menjadi PNS dan dijadikan lahan yang layak diperebutkan bagi masyarakat desa, dan fungsi MPR berubah karena dirombaknya UUD 1945 pada tahun 2002 (Soenarto, 2004).
Namun, bangsa ini rupanya merasa enggan menerima warisan budaya leluhurnya yang begitu kental dengan nilai-nilai humanis. Gotong royong kemudian berubah makna menjadi gotong diri. Artinya seseorang atau sekelompok orang sudah tidak lagi memikirkan kepentingan-kepentingan masyarakat, akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Pandangan ini kemudian memunculkan behavioral culture yang mencoreng bangsa, seperti kasus korupsi yang cukup membuat gelisah bangsa ini. Sehingga ungkapan Jawa tuna sathak bathi sanak dibalik menjadi tuna sanak bathi sathak.

‘kebarat-baratan’
Pernah, peradaban berpusat pada Mesir ketika Islam mencapai masa kejayaannya. Pasca perang salip, kiblat peradaban kemudian berpindah ke negara-negara barat. Kecanggihan teknologi menyulap manusia menjadi makhluk yang konsumtif, hanya berkeinginan mengkonsumsi saja tanpa ada upaya untuk menjadi manusia yang produktif. Tentu saja hal ini merambah ke negera-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Akan tetapi, bangsa Indonesia tidak menyikapi hal ini sebagai suatu perkembangan yang harus dikritisi dan beberapa sisinya mesti dibenahi. Masyarakat Indonesia lebih cenderung untuk menerima hasil budaya barat dan mengesampingkan akibat terhadapnya.
Budaya barat telah menjadi budaya global yang mestinya kita pahami perkembangan dari masa lalu. Global adalah kata sifat dari bahasa Inggris, yang berasal dari kata globe, bula dunia atau dunia. Global berarti ‘mendunia’. Dengan demikian, mengglobal berarti mendunia atau menjadi lebih luas, menjangkau banyak tempat di dunia yang biasanya diperlawankan dengan melokal, yang kurang labih ‘menjadi bersifat local’ atau lebih kecil cakupannya (Ahimsa-Putra, 2004).
Perkembangan budaya barat yang telah mengglobal menjadi patokan budaya-budaya diseluruh negara, termasuk Indonesia yang akhir-akhirnya menjadi mampu negara-negara barat. Jika seseorang tidak mengikuti modis barat, maka akan dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman atau kurang pergaulan (kuper) sehingga membuat malu. Lebih ironis lagi bahwa budaya barat telah menjadi ukuran dalam kehidupan sosial sehingga terbentang jarak antar satu manusia dengan yang lainnya. Maka bukan hal yang mustakhil jika gotong royong yang merupakan ajaran leluhur akan hilang dengan sendirinya tanpa disadari. Hal ini dapat diartikan bahwa bangsa Indonesia telah melupakan akar budayanya.
Salah satu contoh yang paling mudah adalah “belanja di swalayan”. Cara belanja semcam ini sangat berbeda dengancara belanja di pasar-pasar tradisional. Di dalam pasar tradisional, budaya tegur sapa dan tawar menawar masih begitu lekat, sehingga akan terjadi interaksi simbolik yang mengahantarkan keakraban antara pembeli dan penjual. Ketika keakraban telah muncul, maka tak heran jika kekerabatan pun akan terjalin dengan sendirinya. Namun hal tersebut tak akan ditemukan jika berbelanja di pasar swalayan. Belanja dipasar swalayan tidak membutuhkan komunikasi yang intensif. Asal peraturan yang ditaati (bersedia menitipkan tas, bersedia antri) dan ditunjang dengan sarana yang cukup (uang atau kartu kredit), maka kegiatan belanja dapat dilakukan dengan mudah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban