Langsung ke konten utama

Seputar Polemik Novel Porno


 Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu.
Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak banyak memberikan perhatian dalam kesusastraan Indonesia sebagai media pendidikan anak. Masyarakat hanya menuding hal buruk tanpa berfikir panjang. Saya sendiri kurang begitu paham, di mana letaknya, novel yang dianggap “porno” itu.
Setahu saya, dengan membaca berita di media virtual, dijelaskan bahwa sastra “porno” itu masuk dalam buku panduan sekolah. Sementara itu, tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa ada nilai-nilai pornografi.
Jika yang dipersoalkan hanya masalah kata-kata yang mengandung mengarah pada unsur pornografi tanpa adanya ungkapan verbal, maka telah banyak dan sudah mendarahdaging hal itu sudah diajarkan di sekolah-sekolah sejak dahulu.
Dalam pembabakan sejarah sastra, novel Sitti Noerbaja menempati posisi cukup sentral. Sehingga novel tersebut dianggap layak untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Dan tahukah masyarakat umum, bahwa Sitti Noerbaja juga mengandung nilai-nilai pornorafi? Tahukah anggota DPR Komisi X, Rohmani, itu?
Dalam penyampaiannya, novel Sitti Noebaja dikatakan sebagai novel kawin paksa. Itu serentak diajarkan oleh seluruh guru bahasa Indonesia di seluruh Indonesia. Dan tentu, masyarakat umum mafhum apa arti “kawin”. Belum lagi deskripsi-deskripsi dalam novel tersebut yang memang bacaan dewasa, tetapi sudah diajarkan di Sekolah Dasar.
Novel Sitti Noerbaja hanya merupakan salah satu contoh dari seian banyak novel yang serupa. Novel-novel awal kesusateraan Indonesia modern nyaris memiliki unsur percintaan yang memang belum layak diajarkan pada siswa di sekolah. Jika kemudian masyarakat dan pemerintah bersikap untuk memberangus buku-buku pelajaran tersebut, maka pemerintah juga harus membenahi sejarah kesusateraan Indonesia modern. bukankah tindakan memberangus atau dengan kata halus “mengusut tuntas novel porno” merupakan tindakan yang tidak tepat?
Saya yakin, penyusun buku itu tidak bermaksud menyampaikan nila-nilai pornografi kepada siswa di sekolah. Saya yakin, hanya memberikan contoh kutipan narasi dalam novel dan dengan analisis yang bukan mengandung unsur pornografi. Seharusnya, guru yang menemukan kata-kata yang mengandung unsur pornografi bisa menyikapi hal tersebut lebih dewasa.[]Djogjakarta, 2012.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber