Langsung ke konten utama

Setelah Membaca Kumpulan Cerpen Eksil Cucu Tukang Perang Karya Soeprijadi Tomodihardjo


Membaca kumpulan cerpen Cucu Tukang Perang (CTP) karya Soeparji Tomodihardjo, yang konon disebut sebagai sastra eksil indonesia, ternyata cukup merubah cara pandang saya terhadap sastra eksil. Dan tentu saja, saya kecewa. JJ Kusni mengatakan bahwa yang disebut sastra eksil Indonesia meliputi empat hal, yaitu 1) mereka yang sedang belajar; 2) anggota dan staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (profesi—pen.); 3) mereka yang sengaja tinggal dan menetap di luar negeri dengan alasan nonpolitik; 4) mereka yang terpaksa tinggal dan menetap untuk kurun waktu panjang di luar negeri karena alasan politik. Sementara Situmorang mendefinisikan sastra eksil dalam tiga cakupan, yaitu Pertama, sebuah ketakhadiran, sebuah absensi yang panjang dan biasanya karena terpaksa hengkang dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri. Kedua, pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri, dan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Perlu disayangkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia tak punya kata eksil.

Semula saya mengamini kata dua orang tersebut dan membatasi berbagai cakupan yang luas itu dengan kesimpulan yang sama antara kedua orang tersebut, yaitu pada alasan politik, terutama sehubungan dengan kepentingan saya, lebih menyempit lagi pada peristiwa 65 di Indonesia. Namun, setelah membaca kumcer CTP pandangan saya mengenai eksil saya rasakan bergeser. Saya tak lagi membatasi dengan patokan definisi dari kedua orang tersebut, melainkan memberikan penyimpulan sendiri. Bahwa sastra eksil Indonesia adalah karya sastra yang dihasilkan oleh orang-orang yang mengalami dislokasi geografis dari negeri sendiri karena satu alasan, yaitu alasan politik dan tak pernah kembali. Selebihnya, bukan sastra eksil.

Dorothea Schaefter, dalam artikelnya di jurnal Study (University of London), membicarakan eksil Indonesia tetapi tidak memberikan definisi secara eksplisit mengenai sastra eksil Indonesia. Namun, ia mengupas sejarah eksil Indonesia mulai pergerakannya dari bekas Blok timur, khususnya di Rusia, Republik Rakyat Cina, Albania dan Vietnam, hingga pada tahun 1980-an para eksilan itu meninggalkan negera-negara tersebut dan menetap di Eropa. Dari sejarah panjang eksil Indonesia yang ditulisnya, menyiratkan bahwa mereka yang disebut eksil Indonesia adalah mereka yang memiliki satu alasan, yaitu politik.

Sementara definisi yang dimunculkan oleh kedua orang Indonesia di atas bagi saya memiliki makna yang ambigu. Pasalnya, keduanya, dalam membicarakan sastra eksil Indonesia keterkaitan contoh-contoh karya yang diambil mengarah kepada orang-orang Indonesia yang menetap di Negara-negara Barat, Eropa khususnya. Sementara orang Indonesia yang menetap di Negara-negara Timur tak pernah disebut sebagai eksil Indonesia, apapun alasannya. Diskriminasi bukan? Sebut saja TKI. Karya sastra yang dihasilkan mereka disebut-sebut sebagai sastra TKI, sastra buruh. Sementara dari definisi yang disebutkan oleh kedua orang tersebut, TKI masuk di dalamnya tapi tak pernah dimasukkan ke dalamnya. Seolah-olah pekerjaan sebagai buruh tak layak disebut sebagai eksil. Sementara staff KBRI disebut eksil? Apakah menjadi eksil merupakan kebanggaan? Kepentingan apa yang bermain?

Berangkat dari pembacaan di atas, dalam kumcer CTP, sang penyunting, Zen Hae, memberikan pengantar yang meyakinkan pembaca bahwa sang penulis adalah eksil Indonesia korban peristiwa 65 di Indonesia. Mula-mula saya percaya—mungkin karena saya orang baik dan mudah percaya, tapi kepercayaan saya cuma satu. Sungguh! Setelah membaca pengantar tersebut, saya tidak langsung membuka halaman berikutnya, melainkan membuka kumpulan puisi Di Negeri Orang, yang selalu berada dekat tempat tidur saya sebagai dongeng pengantar tidur saya, dan membaca kembali biografi dari Soeprijadi Tomodihardjo namun tidak mendapatkan keterangan yang memuaskan saya. Lalu saya buka halaman terakhir kumcer CTP. Betapa terkagetnya saya. Ternyata pengarangnya bukan eksil sebagaimana saya definisikan di atas. Saya kecewa pada Zen Hae. Ah, sialan kau! Atau ini hanya sopan santun seorang Zen Hae dalam menulis kata pengantar?

Dari halaman terakhir kumcer tersebut, informasi yang saya dapatkan adalah “dalam posisinya sebagai anggota PWI, Soeprijadi pernah mengikuti rombongan 15 orang anggota PWI dari seluruh Indonesia ke Beijing untuk kegiatan liputan selama satu bulan (Oktober 1965). Namun, seusai tugas itu (November 1965), ia memutuskan menerima tawaran kerja selaku penerjemah di kantor berita Xinhua (Hsinhua) di Beijing. Belakang atas bantuan seniornya di kantor berita Antara Jerman, Soeprijadi melawat ke Eropa Barat dan akhirnya meninggalkan profesi semula untuk bekerja di Sekretariat Universitaetskliniken Koeln (Rumah Sakit Unversitas Koeln) sampai pensiun 1998.”

Keterangan yang saya dapatkan di atas berbeda dengan yang ditulis oleh Zen Hae dalam pengantarnya. Ia lebih banyak menyoroti kehidupan eksil korban peristiwa 65 di Indonesia yang kemudian dikaitkan dengan kehidupan Soeprijadi. Secara tidak langsung Zen Hae mengatakan bahwa Soeprijadi adalah korban peristiwa 65 di Indonesia. Terlebih Zen Hae menulis kalimat dahsyatnya, “karya-karyanya tidak melulu bisa dikategorikan sebagai ‘kendaraan ideologi’ belaka—hal yang sangat jamak bagi pengarang kiri semasanya, tetapi telah menjelma karya sastra itu sendiri, sastra sebagai pertaruhan pertama dan terakhir seorang pengarang”. Apa maksudnya “menjelma karya sastra itu sendiri”? Lalu, sastra sebagai pertaruhan pertama dan terakhir? Sastra sebagai penghidupan utama? Bukankah Soeprijadi “meninggalkan profesi semula” sebagai wartawan dan penerjemah yang barangkali juga penulis?

Meski demikian, toh saya merampungkan juga pembacaan saya terhadap kumcer tersebut. Lebih karena kewajiban kepentingan. Dan yang saya temukan, bukan kehidupan eksil. Beberapa cerpen memang berbicara mengenai berbagai hal pascaperang (bukan ketika perang), pengalamannya tinggal sementara di hotel Beijing dan berlatar luar negeri. Beberapa hal lagi berbau romantisme. Gugurlah harapan saya.

Ketika menerima kumcer CTP dari tangan penyair kondang Nur Wahida Idris selepas yasinan sebegai berkatnya, saya berharap menemukan pengalaman-pengalaman eksil seperti pertentangan ideologi dengan pemerintah yang berkuasa pada saat itu dan sekarang, peristiwa politik saat itu, kerinduan yang tak terlampiaskan pada negerinya, pengalaman pengusiran, serta pengalaman-pengalaman getir lainnya. Lamat-lamat memang saya menemukan beberapa hal yang saya harapkan, tapi juga tak memuaskan. Jika hanya demikian, harapan saya lebih terpuaskan dengan karya-karya Martin Aleida dan Pramudya Ananta Toer.

Prasangka buruk saya lainnya, jangan-jangan Soeprijadi ini lebih banyak memiliki karya yang jauh dari pengalamannya yang konon dikatakan eksil? Karya-karya dalam kumcer CTP tentu saja diseleksi hanya sebatas pengalaman-pengalaman yang supaya disebut eksil dan agar bukunya lebih laku. Kecurigaan ini berdasarkan yang dikatakan oleh Zen Hae bahwa Soeprijadi merupakan penulis produktif, sementara cerpen-cerpen dalam CTP berkisar dari tahun 2004 hingga 2010. Tentunya masih banyak karya lainnya yang berceceran.

Ah, barangkali Soeprijadi tak mengalami pengalaman-pengalaman sebagaimana yang pernah dialami oleh Sobron Aidit, Agam Wispi, Asahan Alham, A. Kohar Ibrahim. Bahkan dalam biografinya, ia tak disebut-sebut sebagai anggota Lekra. Karena tentu saja, pengalaman-pengalaman itulah yang menjadi sumber penciptaan teks kreatif. Lepas dari anggapan dan kecurigaan, saya sampaikan rasa terima kasih kepada Soeprijadi Tomodihardjo yang telah membuat saya pusing.[]Djogjakarta, 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Teror dalam Tarian Bumi Untuk Bali

Beberapa hal pokok yang masih berhubungan dengan kerangka analisis social dan budaya dengan dikaitkan perubahan yang dimiliki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, menarik untuk dibaca. Perubahan yang dimaksud di sini adalah pola pikir tokoh atau individu yang secara teranng-terangang memberontak pada kebudayaan Bali juga feminisme. Bukan perubahan-perubahan besar, seperti revolusi, perang, maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya. Tarian Bumi adalah Sebuah novel eksotis khas etnik Bali yang penuh dengan suasana dan atmosfer “pemberontakan”, sekaligus situasi ambivalen kaum perempuan dalam menghadapi realitas sosialnya. Tata sosial yang hierarkis lewat pembagian kasta, patriarkhal di mana kaum laki-laki lebih banyak mendapatkan previlese social, merupakan problem-problem fundamental yang dihadapi kaum perempuan di Bali, jika ingin menemukan hubungan yang relatif lebih equal dan lebih emansipatoris. Meski secara terang-terangan terjadi pemberontkan di sana-sini, sebagai novel per