Langsung ke konten utama

tanggapan atas tulisan Budi Ariaga di eksrepsionline.com


http://ekspresionline.com/index.php/berita/129-budi-ariaga?comment_id=326#josc327


Apresiasi yang bagus. Dan kemarahan atas apresiasi ini bukanlah hal yang baik. Hampir semua orang yang terlibat dan menyaksikan pagelaran kajian drama tahun ini sudah membicarakan tulisan ini. Dan betapa telatnya saya, baru membuka ekspresionline saat ini. Saya lebih memilih fokus membantu penggarapan setting di pentas selanjutnya. Bahkan, saking fokusnya, pacar saya jadi marah-marah karena waktu saya habis di stage tari.

Sebagai pendamping proses temen-temen KMSI angkatan 2008 (kami disarankan istilah “junior” “senior” sejak tahun 1997 oleh leluhur kami karena memang kami keluarga), saya mencoba mengkonfirmasikan beberapa hal dengan singkat (yang meski sebenarnya saya lebih senang diam dan menonton pertunjukan di ekpresionline ini, jika bukan karena desakan beberapa temen. Komentarnya lucu-lucu dan menghibur bagi saya).

***

Begini, mula-mula saya menjaga jarak dengan kajian drama. Mungkin saya akan membantu pada penggarapan keaktoran dan setting saja. Karena mungkin kamu tahu, menggarap teater itu bikin stress, gelisah, dan membuat jadwal keseharianmu berubah drastis hingga akhirnya kamu merasa terbiasa dan menganggap perubahan jadwal keseharianmu yang tidak wajar menjadi wajar. Konon, begitulah seniman.

Di awal Desember, teman-teman KMSI yang sudah menempuh kajian drama lebih dulu banyak membicarakan kegentingan yang terjadi. Dari konflik internal hingga ekternal. Saya hanya satu kali melihat latihan temen-temen. Hingga pada pertengahan Desember, sebuah pesan singkat masuk melalui ponsel saya. Beberapa teman diminta untuk berkumpul di suatu malam dan menyaksikan latian. Dan saya merasa sesuatu yang tidak enak dalam hati saya. Akhirnya saya tahu, bahwa mereka dalam keadaan genting. Beberapa teman yang membantu kajian drama tahun ini sudah mendapatkan bagiannya masing-masing, tinggal saya. Maka, atas nama KMSI, saya ikhlas menerima tanggung jawab itu. Dan sejak saat itu, apapun yang terjadi pada pertunjukkan nanti, sebenarnya saya ikut bertanggungjawab. Pementasan naskah Operasi karya Putu Wijaya, tanggal 09 Januari 2010, saya garap selama kurang lebih tiga minggu, bukan tiga bulan.

Malam itu, ketika temen-temen melakukan evaluasi atas latian barusan, saya suntuk membaca naskah drama yang dipilih. Sedikit kaget, hanya sembilan halaman. Dalam pikir saya, ini naskah untuk studi pentas, bukan untuk naskah lakon dalam pertunjukan teater. Begitulah saya mencium kekeliuran pertama yang nantinya akan saya tanggung. Naskah itu lucu, dan tentu saja seperti naskah Putu lainnya, absurd. Alur yang tidak jelas, logika peristiwa yang menggantung, namun, ada pesan yang jelas dalam sankah itu yang saya tangkap dan saya utarakan kepada temen-temen sejak awal saya duduk dalam satu lingkaran dengan mereka, yaitu 1) kritik pada perfilman Indonesia. Untuk memerankan sebuah tokoh, tim casting akan mencari aktor mana yang cocok. Dan kamu tahu? Tim casting akan memilih aktor dengan kondisi fisik yang mendekati tokoh. Tokohnya adalah seseorang yang jelek, maka dicarilah orang yang berwajah jelek, lalu Omas atau Aming main dalam film itu tanpa memperhitungkan kualitas acting mereka. Begitu pula sebaliknya. Kenapa tidak main polesan make up saja? 2) Sumpah jabatan dokter. Dalam naskah tersebut, seorang dokter dibujuk untuk melanggar sumpahnya dengan iming-iming bayaran empat kali lipat. Inilah realitas kita.

Dua pesan yang saya tangkap di atas ternyata dikutip untuk dicantumkan dalam penulisan sinopsis di booklet yang dibagikan kepada penonton saat memasuki gedung pertunjukan. Pesan yang pertama dan kedua saya kira sudah gampang ditangkap begitu menonton pertunjukan. Untuk pesan kedua, sengaja saya tambahi dengan persekongkolan antara pasien dan suster (yang dalam naskah disebut Asisten Dokter II, dengan membuang satu Asisten Dokter I) dalam menghasut Dokter.

Dalam pemanggungannya, saya pun menambahkan sebuah pesan lagi, yaitu pegawai yang selalu nggosip serta menmbahinya bumbu percintaan, yang tidak ada dalam naskah tersebut. Ya, adegan tari India merupakan bumbu percintaan seorang pembantu rumah tangga di sebelah Klinik Azzahro, yang merupakan pembuka dari pementasan tersebut dan melangkah ke dalam babak I.

Dalam, naskahnya, babak pertama hanya berupa narasi setengah lembar. Ada beberapa pasien yang berobat ke dokter. Tapi Putu tak pernah menjelaskan penyakitnya dan hanya ada satu dokter yang menangani segala macam penyakit. Inilah bentuk keabsurdan Putu dalam naskah tersebut. Setelahnya langsung masuk ke adegan hanya dua orang, antara dokter dengan pasien. Selebihnya ada tambahan pemanggungan.

Babak kedua pada pemanggungannya, merupakan tambahan, menambahkan keabsurdan naskah Putu. Ibu hamil yang semula dikira akan melahirkan ternyata hanya kontraksi biasa, selesai diperiksa ia merasakan perutnya makin sakit, ternyata hanya kebelut berak, lalu suaminya berteriak bahwa istrinya akan melahirkan. Tapi apakah benar-benar akan melahirkan setelah ditipu oleh perutnya?

Kalau memang semua ini tidak tertangkap, ada dua kemungkinan, 1) saya yang kurang halus menyampaikannya atau 2) penonton yang tidak jeli menangkap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Seputar Polemik Novel Porno

    Membaca polemik novel “porno”, saya menganalogikan seperti pengalaman saya berikut ini; di kelas waktu kuliah S1 dulu, salah seorang dosen dengan bangga dan gembar-gembor bahwa dia telah membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Menurutnya buku itu sangat bagus dan wajib menjadi bacaan mahasiswa sastra. Sementara kami, yang duduk dideretan tak terlalu belakang, menertawakan dosen itu. Kami telah membacanya beberapa bulan lalu. Sejujurnya, saya agak kaget ketika novel “porno” muncul ke permukaan sebagai polemik. Dalam hasanah sastra Indonesia sendiri, hal itu sudah banyak dibahas oleh para kritikus dan esais sastra. novel “porno” kemudian banyak disebut dengan sastra selangkangan, sastrawangi (untuk menyebut sastrawan perempuan yang mengumbar nilai pornografi), sastra sex, genre fiksi alat kelamin (FAK) dan lain sebagainya. Jika kemudian kalangan umum, apalagi DPR, mempermasalahkan hal itu, maka sudah sangat ketinggalan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ban