Langsung ke konten utama

Inovasi Teater "Teater By Request" oleh P4TK Seni dan Budaya

semalam (04/12/10), sehabis menonton pertunjukan teater, setelah lama tidak menonton, akhirnya cukup memuaskan hasrat saya. pertunjukan tersebut dihadirkan oleh PPPPTK (P4TK) Seni dan Budaya Yogyakarta, mungkin diadakan dalam rangka pentas akhir tahun. biasa, kebanyakan instansi pemerintahan selalu membuat kegiatan akhir tahun yang meriah untuk menghabiskan dana. pertunjukan ini diadakan di Aula lantai I kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
pertunjukan teater mlam itu cukup inovatif dalam pandangan saya. lihat saja judulnya, "teater by request". melihat judulnya seakan kita diingatkan pada pertunjukan musik yang akhir-akhir ini menjamur di stasiun televisi. sebut saja Inbox, Dahsyat, MTV Ampuh, Mantap, dan lain-lain. program musik di stasiun televisi tersebut menampilkan band-band atau lagu-lagu yang sedang hits dan dalam rangka memenuhi permintaan audiens. sebab itulah, acara-acara semacam ini tak akan surut selama muncul band-band atau lagu-lagu baru dan/atau banyaknya pembuat program menerima permintaan dari audiens. nah, begini "teater by request" hadir.
penggarap teater menyediakan sekitar 30 naskah dan 10 aktor yang harus siap dipilih penonton. penonton yang hadir akan memilih satu naskah dan sekian aktor untuk memainkannya. teknisnya begini; moderator membawa sebuah papan yang berisi judul dan teknis pementasan. setelah itu penonton akan diminta tunjuk jari dan moderator memilih salah satu di antara penonton tersebut untuk mewakili penonton yang lain dalam memilih naskah dan aktor. setelah terpilih, maka pertunjukan akan dilaksanakan. pertunjukan hadir selama 10 - 15 menit. setelah itu moderator akan maju lagi dan menunjuk satu penonton secara acak.
konsepnya sangat menarik. di mana aktor dituntun menguasai sekitar 30 naskah dan siap memainkan kapan pun ia ditunjuk. ini merupakan pertama kalinya di lakukan di Indonesia. sepanjang pengamatan saya, pertunjukan teater hanya dilakukan dengan satu naskah dan penggarapan yang detail. lalu bagaimanakah kasus "teater by request" ini?
secara konsep, saya kira setiap seniman teater akan menganggap hal ini sebagai seatu pembaruan yang cukup menarik. biasanya, konsep bergantian ini diadakan dengan konsep parade atau battle, yang sudah disiapkan dengan pasti dan penonton hanya duduk manis untuk melihat. keunggulan pada konsep "teater by request" ini adalah 1) eksplorasi aktor dituntut "sangat maksimal", 2) penggarapan fragmen yang tidak akan menjenuhkan, 3) memungkin berbagai tafsir dan inovasi baru, 4) interaksi dengan penonton sangat konsisten.
namun, dibalik keunggulan tersebut, terutama setelah mencermati malam itu, beberapa kelemahan saya tangkap, 1) penggarapan yang tidak maksimal. aktor dituntut menguasai sekitar 30 naskah dalam sekali waktu. dan tentu saja ini bukan pekerjaan mudah. sayangnya adalah sebagian besar aktor yang berperan pada malam itu adalah aktor pemula, sehingga tidak tidak maksimal dalam pertunjukannya. 2) hilangnya aspek-aspek teater. dalam sebuah pertunjukan teater, setting, ligthing, properti, make up dan kostum serta musik menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan. akan tetapi, pada malam itu, aspek-aspek teater tersebut hilang. malam itu, tanpa make up, tanpa setting, lighting (yang flat), musik, pertunjukan berlangsung. sehingga faktor utama penentu keberhasilan pertunjukan adalah aktor, tetapi kembali ke (1) penggarapan tidak maksimal. 3. dalam pertunjukannya, malam itu hanya mnawarkan "lucu". naskah dan aktor dituntut lucu sehingga tidak membosankan, dan hampir dari awal hingga akhir pertunjukan, ruang pertunjukan penuh dengan tawa penonton.


Komentar

djarwo mengatakan…
Sedikit ralat utk tulisan di atas tp penting:
‎1. Theatre by request gak pernah pake naskah, semua imrovisasi. 2. Gak ada hubungannya dengan pentas akhir tahun (koyo sekolahan wae), 3. Yang main bukan aktor tapi performer, 4. Tujuannya bukan untuk tampil hebat seperti para aktor tetapi untuk melihat teater dari sisi lain sehingga semua orang yang datang bisa saling belajar. (dikutip dari produser theater by request : eko ompong santosa)
djarwo mengatakan…
Sedikit ralat utk tulisan di atas tp penting:
1. Theatre by request gak pernah pake naskah, semua imrovisasi. 2. Gak ada hubungannya dengan pentas akhir tahun (koyo sekolahan wae), 3. Yang main bukan aktor tapi performer, 4. Tujuannya bukan untuk tampil hebat seperti para aktor tetapi untuk melihat teater dari sisi lain sehingga semua orang yang datang bisa saling belajar. (dikutip dari producer theater by request: eko ompong santosa)
fairuzul mumtaz mengatakan…
1, kalo improvisasi itu tanpa latian, mas, 2. dugaan saya begitu, hehehe.. begitulah yang terjadi di setiap instansi pemerintahan kita dan apalagi momentnya tepat di bulan terakhir tahun 2010. tanpa ada kegiatan atau jika dana sebuah instansi tak habis, pemerintah pusat akan mengurangi jatah pendanaan. 3. judulnya aja teater by request, pemainnya namanya tetep aktor, beda kalo judulnya performent by request. 4. yang ini saya setuju. belajar bersama saya suka. jujur, saya terinspirasi. hehehe... 5. kayaknya kok yo do nesu to? nek ga mau dikritik, ra sah pentas mas. ahihihihi... ini kan juga belajar bersama... ahihihihi

Postingan populer dari blog ini

Satu Cinta Untuk Eva Dwi Kurniawan

1.        Penyair Eva merupakan penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan pertamanya adalah menulis puisi itu gampang. Antara kurun Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya, Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan   ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama. Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan d

Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri

Gus Mus—panggilan akrab A. Mustofa Bisri—menggubah puisi (baca; Al qur'an) menjadi puisi. Apa yang ada di dalam Al qur'an beliau terjemahkan lagi dalam puisi Indonesia. Meski hal ini tidak bisa menandingi, bahkan mustahil untuk menyamai isi dari alqur'an, tapi puisi yang digubah oleh Gus Mus sudah cukup menggerakkan seluruh bulu roma dan mengendorkan sendi-sendi tubuh. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan tentang proses kreatif yang dilakukan oleh Gus Mus. Gus Mus yang tak pernah tamat atau lulus sekolah belajar kesenian dengan mengamati masa kecilnya. Jiwa pelukisnya tumbuh saat beliau teringat bahwa pada masa kecilnya beliau pernah memenangkan lomba menggambar dan warnai. Sejak saat itu, beliau sadar bahwa dalam dirinya ada bakat untuk melukis. Kemudian mulailah Gus Mus melukis hingga pada saat ini lukisan beliau sangat terkenal. Salah satu lukisannya yang hanya bertuliskan alif di atas kanvas terjual hingga puluhan juta rupih. Untuk bakat menulisnya sendiri, ber

Teror dalam Tarian Bumi Untuk Bali

Beberapa hal pokok yang masih berhubungan dengan kerangka analisis social dan budaya dengan dikaitkan perubahan yang dimiliki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, menarik untuk dibaca. Perubahan yang dimaksud di sini adalah pola pikir tokoh atau individu yang secara teranng-terangang memberontak pada kebudayaan Bali juga feminisme. Bukan perubahan-perubahan besar, seperti revolusi, perang, maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya. Tarian Bumi adalah Sebuah novel eksotis khas etnik Bali yang penuh dengan suasana dan atmosfer “pemberontakan”, sekaligus situasi ambivalen kaum perempuan dalam menghadapi realitas sosialnya. Tata sosial yang hierarkis lewat pembagian kasta, patriarkhal di mana kaum laki-laki lebih banyak mendapatkan previlese social, merupakan problem-problem fundamental yang dihadapi kaum perempuan di Bali, jika ingin menemukan hubungan yang relatif lebih equal dan lebih emansipatoris. Meski secara terang-terangan terjadi pemberontkan di sana-sini, sebagai novel per