Apa yang dimaksud dengan puisi? Ketika orang-orang—bahkan penyairnya sekaligus—mengalami kebuntuan dalam mendefinisikan puisi dan putus asa terhadapnya, dengan serta merta mereka kemudian menjadi sangat luas mendefinisikannya, bahwa puisi adalah kehidupan, bahwa puisi adalah seluruh isi alam, bahwa puisi adalah kata-kata yang indah, dan entah apa lagi. Puisi menjadi begitu sulit didefinisikan, sama seperti halnya puisi sulit dipahami dan dihayati. Lalu dalam dunia sastra yang semakin bebas, baik dari isi maupun tipologinya, masih perlukah batasan tentang puisi?
Secara teoritis, sudah terlalu banyak para ahli memberikan batasan terhadap puisi, hingga pada jenjang usia dan pendidikan, dan di antaranya juga terdapat persamaan dan perbedaan sekaligus. Akan tetapi, keseragaman dan kesepakatan atas definisi yang mencakup ragam dan corak puisi yang ada merupakan hal yang mustahil dicapai. Hingga saat ini, batasan puisi menjadi semakin kabur, puisi menjauh dari batasan-batasan seolah ingin bebas seperti penyairnya yang selalu menyatakan dirinya bebas.
Dalam perspektif sejarahnya, puisi cenderung berganti-ganti arah. Setiap angkatan dalam pembabakan sastra memiliki cirinya sendiri dan membawa kecenderungan estetika tersendiri, sesuai dengan lingkup zaman yang menghidupinya. Dengan demikian, batasan terhadap puisi harus bersifat temporal. Setiap angkatan, selain memiliki kecenderungannya sendiri, juga memiliki definisinya sendiri.
Menilik sejarah penulisan puisi, pada kebudayaan bangsa Babilon dan masyarakat-masyarakat sebelum bangsa Yunani, segala pemikiran dan perenungan para filsuf-filsuf awal dikemukakan melalui syair-syair ataupun mitos-mitos yang kemudian disebut mythopoeic (Gregory, 2002). Falsafah atau pandangan hidup penyair tidak lepas dari wilayah garapan. Artinya, pemikiran, perenungan, dan dunia yang diidealkan merupakan modal penyair untuk menyampaikan sesuatu dalam bentuk puisi.
Di Jerman, kaitan antara filsafat dan sastra sering teramat dekat, terutama di zaman Romantik. Pada saat itu, Fichte, Schelling, dan Hegel hidup bersama para penyair (Wellek dan Waren, 1993:139). Sastra terkadang dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Puisi adalah sarana ekspresi untuk menyampaikan pemikiran, perenungan, dan kebenaran filsafat. Hal yang terjadi pada penyair romantik adalah penuangan perasaan dalam puisi untuk menyampaikan maksud yang diidealkan.
Selain pandangan hidup, renungan, dan pemikiran-pemikiran, perasaan atau emosi yang merupakan unsur pembangun puisi. Wordsworth (via Luxemburg, 1989:169-170), menyebutkan sebagai berikut:
“The spontaneous overflow of powerful feelings” (ungkapan spontan perasaan yang kuat), bukanlah berarti bahwa puisi dapat dianggap sebagai pelepas nafsu yang tak terkendali. Justru sebaliknya, “powerful feelings” bukanlah tujuan akhir puisi, melainkan sarana gambaran dan makna yang terkandung dalam gambaran itu menjadi lebih intensif olehnya dan dibawa kepada tujuan yang lebih luhur: yaitu mengungkapkan “the depth, and not the tumult of the soul” (kedalaman, bukan kegundahan jiwa). Bahwa perasaan dikendalikan daya imajinasi kita lihat juga dalam apa yang disebut Stimmungslyriek (lirik suasana) oleh kaum romantik Jerman. Dalam Stimmungslyriek yang penting bukanlah gambaran visual atau isi kongkret melainkan suasana yang dibangkitkan.
Abdul Qahir al-jurjani via Abdul Hadi W.M[1], seorang ahli estetika Arab-Persia abad 12 M, mengatakan bahwa puisi—betapa pun ringkas dan bersahajanya—adalah makna yang menurunkan makna-makna. Hal ini karena puisi menggunakan bahasa figuratif dan majas yang di dalamnya sarat dengan fiksional dan nuansa. Melalui bahasa figuratif itulah susunan puisi yang terstruktur itu dibentuk dan inilah yang disebut oleh Ibnu Arabi sebagai ‘alam misal’. Abdul Hadi W.M kemudian menyimpulkan bahwa membaca ungkapan estetika puisi adalah ibarat melihat manusia.
Melihat realitas sekarang, apakah kesimpulan terhadap puisi tersebut masih bisa dipertahankan, sementara kehidupan estetika dalam puisi dan pengalaman penyairnya terus bergeser? Bagaimana dengan puisi-puisi yang memiliki kecenderungan politik? Pejabat menulis puisi? Puisi dengan lingkungan sosial penyairnya? Kesimpulan-kesimpulan yang dipaparkan di atas, hanya melihat puisi secara struktural saja. Bagian-bagian yang lain seakan hilang begitu saja.
Bagian-bagian yang hilang itu ternyata tersimpan dalam definisi yang dipaparkan Plato dan Aristoteles. Plato mendefinisikan puisi dimulai dengan mendefinisikan penyairnya. Plato[2], merumuskan bahwa penyair adalah peniru (imitator) benda. Penyiar hanya sekedar peniru, imitator, tanpa jalan menuju kenyataan dan kebenaran. Hal ini mengindikasikan bahwa puisi adalah alat untuk meniru suatu benda. Dengan demikian, maka puisi merupakan suatu yang tak bermuatan ketika ia hanya menjadi alat peniruan belaka.
Dua alasan mengapa Plato mengatakan demikian. Pertama, terkait langsung dengan konsepnya mengenai seni sebagai imitasi dua kali dari realitas sehingga seni tidak baik untuk dijadikan sebagai sumber-sumber ilmu pengetahuan. Plato menempatkan seni yang sedna berkompetisi dengan ilmu pengetahuan. Plato menegaskan bahwa hanya filsuflah yang dijadikan sebagai sumber kebijakan atau moral. Kedua, Plato mengkaitkan antara pengaruh buruk seni dan penonton dalam hubungannya dengan cita-cita menegara. Hal ini disebabkan oleh contoh-contoh tindakan buruk dalam penampilan seni sehingga Plato menganggap harus ada badan sensor. Lebih lanjut, Plato membahas terjadinya puisi, bahwa proses puisi itu irasional dan karenanya, mereka yang terlibat juga mudah kurang kontrol terhadap akal, maka akan berakibat buruk bagi penonton.[3]
Bertolak dari pandangan Plato, Aristoteles memandang (seni) puisi lebih kompleks dan lentur. Ia menganalogikan imitasi seni dengan pertunjukan drama atau teater (Sutrisno, 2006: 65), dengan pembedaan jenis seni dalam tiga macam berdasarkan penampilannya, yaitu tragedi, komedi dan puisi epik. Ketiga jenis ini merupakan kehidupan yang terjadi pada zaman itu. Analogi drama ini memberikan penyimpulan bahwa puisi merupakan imitasi kehidupan, bukan hanya imitasi dari benda-benda sebagaimana yang dipaparkan oleh Plato.
Pandangan-pandangan di atas mengenai definisi puisi sangat beragam tetapi saling menguatkan. Namun tidak mungkin seluruh pengertian tersebut dipakai untuk merumuskan puisi mutakhir. Ketika puisi mencapai puncak keberagaman bentuk dan isinya, apa yang disebut puisi dan apa yang ditulis oleh seseorang adalah puisi, semestinya diserahkan kembali pada penyairnya.
Komentar