1.
Penyair Eva merupakan
penyair yang sangat produktif. Dalam kurun waktu lima bulan, ia menyulap puisi-puisi
itu dan jadilah antologi Swara Dewi yang berjumlah 64 judul. Angka genap yang
terkesan ganjil, kenapa tidak dibulatkan menjadi 65 saja? Tentu ini memiliki alasan
tertentu. Ia menuliskan puisinya dari bulan Januari hingga Mei 2012. Baru kali
ini saya melihat ada penyair sedahsyat dan seproduktif ini. Mungkin hidupnya
didedikasikan hanya untuk puisi. Dan dengan membaca antologi tersebut, kesan
pertamanya adalah menulis puisi itu gampang.
Antara kurun
Januari hingga Mei saya kembali bertanya, di mana bulan april? Tak ada satu pun
puisi yang ditulis bulan April masuk dalam antologi ini. Mungkin bulan April
terlalu menyakitkan baginya? Mungkin ia pernah patah hati di bulan April. Tampaknya,
Penyair Eva tidak menganggap bulan itu begitu penting, melainkan ia memilih puisi-puisi yang memiliki tema sama.
Ini terlihat dari adanya puisi di bulan Desember 2012 yang diikutkan dalam
antologi ini. Mungkin di sini terjawab, tak ada puisi cinta di bulan April.
2.
Tema Cinta. Sekumpulan
puisi itu dirangkum dalam tema yang sama. Seluruhnya tentang cinta. Penyair Eva
mengawali obrolan dengan saya, dengan mengatakan bahwa puisi-puisi dalam antologi
ini merupakan puisi galau, dalam artian seluruhnya bertemakan cinta.
Cinta yang
dirumuskan Penyair Eva dalam antologinya adalah cinta antara laki dan perempuan.
Dialog antara aku dan kau. Angapan Penyair Eva bahwa puisi cinta merupakan
puisi galau, berdampak pada 1) penciptaan puisi tanpa beban. Puisi itu mengalir
begitu saja, Penyair Eva pun menuliskannya tanpa beban social, moral, perubahan
dan lain sebagainya. Ia tak mengindahkan posisi cinta yang sangat komplek, bahwa
cinta bisa sangat berarti politis. 2) Penyair Eva tak menggunakan pengetahuannya
untuk dileburkan menjadi imajinasi dan akhirnya menjadi puisi. Misalnya, cinta
dalam pandanan postcolonial itu bagaimana. Di sini, puisi sebagai salah satu
jalan kontemplasi akhirnya tak memiliki makna apa-apa. Kesakitan-kesakitan yang
pernah dialami oleh “aku” tak memiliki arti apa-apa. Atau memang “Aku” mengambil
sikap seperti tak ada apa-apa. Hidup pun mengalir begitu saja. Dan puisi-puisi
itupun lahir. Sikap “Aku” itu dapat dilihat dalam puisi sakit hati ini, Sekerat Surat Pertama (hal 28).
…
Tak tahu aku. Mana benar. Mana pijakanku
Berlogika. Bingung. Tak bisa normal. Tak ada
beda
Antara putih mata dan putih tulang.
Ceritamu semalam. Buatku lemas, lemah
Dan hilang tenaga. Tak ada daya. Kakiku
terpaku
Tidak bergerak. Juga tubuhku, terpendam
hingga dada. Sesak dan sakit.
Lihatlah
puisi di atas, “Aku” tak mengungkapkannya dengan diksi-diksi yang mampu membuat
pembaca paham akan kesakitannya. Ia memilih diksi yang biasa, diksi sehari-hari.
Kesannya kemudian adalah kesakitan itu hanya pura-pura saja. Bahwa ketika orang
merasa sakit hati, sangat sakit hati, hingga ia kehilangan pijakan berlogika, tak bisa normal, serta sakit dan sesak, seseorang akan mampu berbuat hal yang diluar
dugaan atau kebiasaannya.
Peristiwa semacam
itu pada akhirnya membuat trauma “Aku”, lihatlah sikap “aku” dalam puisi Jalan-jalan dalah Wajahmu (hal 45).
…
Aku tahu, bahwa kau tahu, aku mencintaimu
Tapi udara pagi ini terlalu gigil aku lawan.
Aku lebih memilih selimut tebal di antara
Cuaca gerimis dan panas yang berubah.
….
Dalam
perjalanan cinta “Aku”, ia tak ingin lagi merasakan sakit hati yang pura-pura
itu. Ia lebih memilih menyimpan kecintaannya pada lawan jenis.
3.
Yang menarik
dari kumpulan puisi ini adalah bahwa Penyair Eva sangat terlatih menggunakan bahasa.
Matafor-metafor yang ciptakan cukup enak dinikmati. Tapi menjadi tidak menarik karena
mengetahui Penyair Eva adalah alumnus Prodi Sastra Indonesia. itu merupakan hal
yang biasa.
Komentar